.

Senin, 03 April 2017

Menganalisa Produksi, Produktivitas, dan Biaya Kelapa Sawit

@B39-Farida

Oleh : Farida Rahma Anggraini


ABSTRAK 

Setelah tumbuh pesat sampai dengan tahun 1990-an, industri kelapa sawit di Indonesia saat ini menghadapi berbagai kendala sehingga investor mulai ragu-ragu menanamkan modalnya pada bisnis kelapa sawit.
Hasil analisis menunjukkan bahwa konsumsi CPO dunia sampai dengan tahun 2025 diperkirakan akan berkisar antara 41.45 – 44.45 juta ton. Secara keseluruhan, kebutuhan investasi kebun dan pabrik CPO sampai dengan tahun 2020 berikisar antara Rp 57.12 – Rp 67.97 triliun. Dalam memanfaatkan peluang tersebut, ada beberapa hambatan dalam melakukan investasi, terutama keterbatasan sumber pendanaan, otonomi dareah, dan tekanan isu lingkungan

PENDAHULUAN

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis golongan palma yang termasuk tanaman tahunan. Industri minyak sawit merupakan kontributor penting dalam produksi di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cerah. Industri ini juga berkontribusi dalam pembangunan daerah, sebagai sumber daya penting untuk pengentasan kemiskinan melalui budidaya pertanian dan pemprosesan selanjutnya. (Menurut Lubis. I dan Yohansyah. M, 2014)

Minyak sawit adalah salah satu minyak yang paling banyak dikonsumsi dan diproduksi di dunia. Minyak yang murah, mudah diproduksi dan sangat stabil ini digunakan untuk berbagai variasi makanan, kosmetik, produk kebersihan, dan juga bisa digunakan sebagai sumber biofuel atau biodiesel. Kebanyakan minyak sawit diproduksi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan karena pohon kelapa sawit membutuhkan suhu hangat, sinar matahari, dan curah hujan tinggi untuk memaksimalkan produksinya. Efek samping yang negatif dari produksi minyak sawit - selain dampaknya kepada kesehatan manusia karena mengandung kadar lemak yang tinggi - adalah fakta bahwa bisnis minyak sawit menjadi sebab kunci dari penggundulan hutan di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia. Indonesia adalah penghasil gas emisi rumah kaca terbesar setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS).

Pada lima tahun terakhir, ketika Indonesia mengalami krisis multidimensional, laju pertumbuhan industri CPO mulai melambat. Di samping karena kesulitan sumber pembiayaan/pendanaan, isu lingkungan dan konflik lahan, juga menghambat perkembangan investasi di bisnis kelapa sawit. Bahkan ada pandangan yang menyebutkan bahwa pasar kelapa sawit (CPO) sudah mulai jenuh. Akibat semua hal itu, banyak investor yang mulai ragu-ragu untuk melakukan investasi pada bisnis kelapa sawit. (Menurut Susila. W)

RUMUSAN MASALAH

Dari pendahuluan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Menganalisa factor – factor yang mempengaruhi produktifitas kelapa sawit ?
2.      Menganalisa prospek peluang produksi kelapa sawit di Indonesia ?
3.      Menganalisa biaya ekspor kelapa sawit ?

PEMBAHASAN

Produktivitas tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor lingkungan, faktor genetik, dan teknik budidaya tanaman. Faktor lingkungan (enforce) yang mempengaruhi produktivitas kelapa sawit meliputi faktor abiotik (curah hujan, hari hujan, tanah, topografi) dan faktor biotik (gulma, hama, jumlah populasi tanaman/ha). Faktor genetik (innate) meliputi varietas bibit yang digunakan dan umur tanaman kelapa sawit. Faktor teknik budidaya (induce) meliputi pemupukan, konservasi tanah dan air, pengendalian gulma, hama, dan penyakit tanaman, serta kegiatan pemeliharaan lainnya. Faktor-faktor tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit adalah umur tanaman, tenaga kerja panen, curah hujan, dan hari hujan. Pemilihan faktor-faktor tersebut berdasarkan kelengkapan data yang tersedia. (Menurut Lubis, I dan Yohansyah. W, 2014)

Selain factor internal mengenai proses pengolahan kelapa sawit juga terdapat factor eksternal, yaitu:
1)      Kendala dan Kebijakan
Dua hambatan utama adalah instabilitas kondisi ekonomi makro dan ketidak-pastian kebijakan ekonomi. Faktor berikutnya yang juga dinilai sebagai hambatan utama adalah korupsi, baik pada tingkat local maupun nasional. Selanjutnya, masalah perpajakan dan biaya modal juga menjadi factor penghambat investasi di Indonesia.

2)      Keterbatasan Sumber Pendanaan
Sejak tidak adanya BLBI sebagai kredit murah, berbagai kegiatan investasi perluasan kelapa sawit di Indonesia, seperti di Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan mengalami kemacetan atau perluasannya sangat terbatas. Dalam mengatasi hal tersebut, sumber pendanaan perlu digali seperti dengan menggunakan anggaran pemerintah daerah.

3)      Otonomi Daerah
Ada dua undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah yaitu UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya memberi wewenang yang lebih luas pada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki. Dampak positif yang diharapkan dari otonomi daerah adalah bahwa inisiatif daerah lebih terpacu sehingga potensi ekonomi daerah, termasuk subsector perkebunan, dapat digali secara optimal. Hal ini cenderung mendorong daerah untuk melakukan spesialisasi guna meningkatkan efisiensi pada semua bidang, termasuk subsektor perkebunan. Kemungkinan dampak negatif dari otonomi daerah terhadap subsector perkebunan adalah adanya kompetisi antar daerah dalam mengembangkan subsector tersebut. Jika tidak ada koordinasi antar daerah atau dari pemerintah pusat, persaingan tersebut dikhawatirkan akan memperlemah posisi rebut tawar Indonesia di pasar internasional.

4)      Isu Lingkungan
Pengembangan tanaman perkebunan, kelapa sawit khususnya, akhir-akhir ini mendapat sorotan karena dianggap merusak lingkungan. Memasuki awal abad 21, masalah lingkungan masih akan tetap mendapat tekanan, khususnya dari kalangan LSM lingkungan. Ada beberapa argumen yang digunakan untuk menyatakan perluasan areal kelapa sawit dapat merusak lingkungan. Pertama, areal kelapa sawit dianggap berasal dari lahan hutan yang memberi keuntungan ganda pada pengusaha dalam bentuk kayu dan produk kelapa sawit. Hal ini memang tidak sepenuhnya benar karena banyak juga kebun yang berasal dari lahan yang bukan hutan.

Era Boom Komoditi 2000-an membawa berkat bagi Indonesia karena berlimpahnya sumberdaya alam negara ini. Harga minyak sawit naik tajam setelah tahun 2005 namun krisis global menyebabkan penurunan tajam harga CPO di tahun 2008. Terjadi rebound yang kuat namun setelah tahun 2011 harga CPO telah melemah, terutama karena permintaan dari RRT telah menurun, sementara rendahnya harga minyak mentah (sejak pertengahan 2014) mengurangi permintaan biofuel berbahan baku minyak sawit. Karena itu, prospek industri minyak sawit suram dalam jangka waktu pendek, terutama karena Indonesia masih terlalu bergantung pada CPO dibandingkan produk-produk minyak sawit olahan.

Pada saat permintaan global kuat, bisnis minyak sawit di Indonesia menguntungkan karena alasan-alasan berikut:
·         Margin laba yang besar, sementara komoditi ini mudah diproduksi
·         Permintaan internasional yang besar dan terus berkembang seiring kenaikan jumlah penduduk global
·         Biaya produksi minyak sawit mentah (CPO) di Indonesia adalah yang paling murah di dunia
·         Tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan produk minyak nabati
·   Penggunaan biofuel diduga akan meningkat secara signifikan, sementara penggunaan besin diperkirakan akan berkurang
Masalah-masalah apa yang menghalangi perkembangan industri minyak sawit dunia?
·         Kesadaran bahwa penting untuk membuat lebih banyak kebijakan ramah lingkungan
·         Konflik masalah tanah dengan penduduk lokal karena ketidakjelasan kepemilikan tanah
·         Ketidakjelasan hukum dan perundang-undangan
·         Biaya logistik yang tinggi karena kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur

Untuk meningkatkan perkembangan di industri hilir, pajak ekspor untuk produk minyak sawit yang telah disuling telah dipotong dalam beberapa tahun belakangan ini. Sementara itu, pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) berada di antara 0%-22,5% tergantung pada harga minyak sawit internasional. Indonesia memiliki 'mekanisme otomatis' sehingga ketika harga CPO acuan Pemerintah (berdasarkan harga CPO lokal dan internasional) jatuh di bawah 750 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik ton, pajak ekspor dipotong menjadi 0%. Karena harga acuan ini jatuh di bawah 750 dollar AS per metrik ton di September 2013, Indonesia telah menetapkan pajak ekspor CPO 0% sejak Oktober 2014.
Karena hal ini berarti Pemerintah kehilangan pendapatan pajak ekspor yang sangat dibutuhkan dari industri minyak sawit, Pemerintah memutuskan untuk memperkenalkan pungutan ekspor minyak sawit di pertengahan 2015. Pungutan sebesar 50 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik ton diterapkan untuk ekspor minyak sawit mentah dan pungutan senilai 30 dollar AS per metrik ton ditetapkan untuk ekspor produk-produk minyak sawit olahan. Pungutan-pungutan ekspor minyak sawit ini hanya perlu dibayar oleh para eksportir ketika harga CPO acuan Pemerintah jatuh di bawah batasan 750 dollar AS per metrik ton (secara efektif memotong pajak ekspor minyak sawit menjadi 0%).

Beberapa factor yang memepengaruhi harga minyak kelapa sawit :
o   Supply & demand
o   Harga pesaing
o   Cuaca
o   Kebijakan impor negara – negara yang mengimpor kelapa sawit
o   Perubahan dalam kebijakan dan pungutan ekspor atau impor

KESIMPULAN

1.      Dalam memanfaatkan peluang tersebut, Indonesia mengalami beberapa kendala utama yaitu keterbatasan sumber pendanaan, otonomi dareah, dan tekanan isu lingkungan. Dalam hal ini, pemerintah dan investor sangat dituntut menerapkan bebagai kebijakan/upaya untuk mengatasi kendala tersebut.
2.      (kebijakan perdagangan dan kebijakan dalam negeri) harus dilaksanakan oleh Indonesia pemerintah untuk mendukung ekspansi kelapa sawit di Indonesia. Pajak ekspor merupakan salah satu kebijakan perdagangan dilaksanakan oleh Indonesia pada minyak sawit untuk mengendalikan harga minyak goreng domestik. Untuk kebijakan domestik dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk seperti subsidi produksi, program insentif pada penelitian tentang diferensiasi produk (produk bernilai tambah) dan peningkatan standar mutu untuk ekspor minyak sawit Indonesia.
 
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2017. Minyak Kelapa Sawit. http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166?. (Diakses tanggal 2 April 2017)
Annisa, N. 2012. Penentu Ekspor Kelapa Sawit Indonesia : Harga dan Estimasi Pendapatan Elastis. https://chibechan.wordpress.com/2012/10/23/jurnal-2/. (Diakses tanggal 2 April 2017)
Hermanto, P. 2012. Pengaruh Biaya Produksi Terhadap Pendapatan Petani Kelapa Sawit, http://agengveni.blogspot.co.id/2012/09/pengaruh-biaya-produksi-terhadap.html. (Diakses tanggal 2 April 2017)
Susila. W. 2017.  Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia : Perspektif Jangka Panjang 2025. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=14&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjVqercsoXTAhVLMY8KHdxLDlc4ChAWCC0wAw&url=http%3A%2F%2Fojs.unud.ac.id%2Findex.php%2Fsoca%2Farticle%2Fdownload%2F4161%2F3146&usg=AFQjCNEpfJdAcgV4yr3LLAl2KrUJqjlxGg&sig2=mzQJUHoMgQdtyaJk1kvwVQ&bvm=bv.151325232,d.c2I. (Diakses tanggal 2 April 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.