Oleh : Farida Rahma Anggraini
ABSTRAK
Setelah
tumbuh pesat sampai dengan tahun 1990-an, industri kelapa sawit di Indonesia
saat ini menghadapi berbagai kendala sehingga investor mulai ragu-ragu
menanamkan modalnya pada bisnis kelapa sawit.
Hasil analisis menunjukkan bahwa konsumsi CPO dunia sampai dengan tahun 2025 diperkirakan akan berkisar antara 41.45 – 44.45 juta ton. Secara keseluruhan, kebutuhan investasi kebun dan pabrik CPO sampai dengan tahun 2020 berikisar antara Rp 57.12 – Rp 67.97 triliun. Dalam memanfaatkan peluang tersebut, ada beberapa hambatan dalam melakukan investasi, terutama keterbatasan sumber pendanaan, otonomi dareah, dan tekanan isu lingkungan
Hasil analisis menunjukkan bahwa konsumsi CPO dunia sampai dengan tahun 2025 diperkirakan akan berkisar antara 41.45 – 44.45 juta ton. Secara keseluruhan, kebutuhan investasi kebun dan pabrik CPO sampai dengan tahun 2020 berikisar antara Rp 57.12 – Rp 67.97 triliun. Dalam memanfaatkan peluang tersebut, ada beberapa hambatan dalam melakukan investasi, terutama keterbatasan sumber pendanaan, otonomi dareah, dan tekanan isu lingkungan
PENDAHULUAN
Tanaman
kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis golongan palma
yang termasuk tanaman tahunan. Industri minyak sawit merupakan kontributor
penting dalam produksi di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang
cerah. Industri ini juga berkontribusi dalam pembangunan daerah, sebagai sumber
daya penting untuk pengentasan kemiskinan melalui budidaya pertanian dan
pemprosesan selanjutnya. (Menurut Lubis. I dan Yohansyah. M, 2014)
Minyak
sawit adalah salah satu minyak yang paling banyak dikonsumsi dan diproduksi di
dunia. Minyak yang murah, mudah diproduksi dan sangat stabil ini digunakan
untuk berbagai variasi makanan, kosmetik, produk kebersihan, dan juga bisa
digunakan sebagai sumber biofuel atau biodiesel. Kebanyakan minyak sawit
diproduksi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan karena pohon kelapa sawit
membutuhkan suhu hangat, sinar matahari, dan curah hujan tinggi untuk
memaksimalkan produksinya. Efek samping yang negatif dari produksi minyak sawit
- selain dampaknya kepada kesehatan manusia karena mengandung kadar lemak yang
tinggi - adalah fakta bahwa bisnis minyak sawit menjadi sebab kunci dari penggundulan
hutan di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia. Indonesia adalah
penghasil gas emisi rumah kaca terbesar setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT)
dan Amerika Serikat (AS).
Pada
lima tahun terakhir, ketika Indonesia mengalami krisis multidimensional, laju
pertumbuhan industri CPO mulai melambat. Di samping karena kesulitan sumber
pembiayaan/pendanaan, isu lingkungan dan konflik lahan, juga menghambat
perkembangan investasi di bisnis kelapa sawit. Bahkan ada pandangan yang
menyebutkan bahwa pasar kelapa sawit (CPO) sudah mulai jenuh. Akibat semua hal
itu, banyak investor yang mulai ragu-ragu untuk melakukan investasi pada bisnis
kelapa sawit. (Menurut Susila. W)
RUMUSAN MASALAH
Dari
pendahuluan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Menganalisa
factor – factor yang mempengaruhi produktifitas kelapa sawit ?
2. Menganalisa
prospek peluang produksi kelapa sawit di Indonesia ?
3. Menganalisa
biaya ekspor kelapa sawit ?
PEMBAHASAN
Produktivitas
tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor lingkungan,
faktor genetik, dan teknik budidaya tanaman. Faktor lingkungan (enforce) yang
mempengaruhi produktivitas kelapa sawit meliputi faktor abiotik (curah hujan,
hari hujan, tanah, topografi) dan faktor biotik (gulma, hama, jumlah populasi
tanaman/ha). Faktor genetik (innate) meliputi varietas bibit yang digunakan dan
umur tanaman kelapa sawit. Faktor teknik budidaya (induce) meliputi pemupukan,
konservasi tanah dan air, pengendalian gulma, hama, dan penyakit tanaman, serta
kegiatan pemeliharaan lainnya. Faktor-faktor tersebut saling berhubungan dan
mempengaruhi satu sama lain. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap
produktivitas tanaman kelapa sawit adalah umur tanaman, tenaga kerja panen,
curah hujan, dan hari hujan. Pemilihan faktor-faktor tersebut berdasarkan
kelengkapan data yang tersedia. (Menurut Lubis, I dan Yohansyah. W, 2014)
Selain
factor internal mengenai proses pengolahan kelapa sawit juga terdapat factor
eksternal, yaitu:
1) Kendala
dan Kebijakan
Dua hambatan utama adalah instabilitas
kondisi ekonomi makro dan ketidak-pastian kebijakan ekonomi. Faktor berikutnya
yang juga dinilai sebagai hambatan utama adalah korupsi, baik pada tingkat
local maupun nasional. Selanjutnya, masalah perpajakan dan biaya modal juga
menjadi factor penghambat investasi di Indonesia.
2) Keterbatasan
Sumber Pendanaan
Sejak tidak adanya BLBI sebagai kredit
murah, berbagai kegiatan investasi perluasan kelapa sawit di Indonesia, seperti
di Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan mengalami kemacetan atau
perluasannya sangat terbatas. Dalam mengatasi hal tersebut, sumber pendanaan
perlu digali seperti dengan menggunakan anggaran pemerintah daerah.
3) Otonomi
Daerah
Ada dua undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah yaitu UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU
No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah.
Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya memberi wewenang yang lebih luas
pada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki. Dampak positif
yang diharapkan dari otonomi daerah adalah bahwa inisiatif daerah lebih terpacu
sehingga potensi ekonomi daerah, termasuk subsector perkebunan, dapat digali
secara optimal. Hal ini cenderung mendorong daerah untuk melakukan spesialisasi
guna meningkatkan efisiensi pada semua bidang, termasuk subsektor perkebunan.
Kemungkinan dampak negatif dari otonomi daerah terhadap subsector perkebunan
adalah adanya kompetisi antar daerah dalam mengembangkan subsector tersebut.
Jika tidak ada koordinasi antar daerah atau dari pemerintah pusat, persaingan
tersebut dikhawatirkan akan memperlemah posisi rebut tawar Indonesia di pasar
internasional.
4) Isu
Lingkungan
Pengembangan tanaman perkebunan, kelapa
sawit khususnya, akhir-akhir ini mendapat sorotan karena dianggap merusak lingkungan.
Memasuki awal abad 21, masalah lingkungan masih akan tetap mendapat tekanan,
khususnya dari kalangan LSM lingkungan. Ada beberapa argumen yang digunakan
untuk menyatakan perluasan areal kelapa sawit dapat merusak lingkungan.
Pertama, areal kelapa sawit dianggap berasal dari lahan hutan yang memberi keuntungan
ganda pada pengusaha dalam bentuk kayu dan produk kelapa sawit. Hal ini memang
tidak sepenuhnya benar karena banyak juga kebun yang berasal dari lahan yang
bukan hutan.
Era
Boom Komoditi 2000-an membawa berkat bagi Indonesia karena berlimpahnya
sumberdaya alam negara ini. Harga minyak sawit naik tajam setelah tahun 2005
namun krisis global menyebabkan penurunan tajam harga CPO di tahun 2008.
Terjadi rebound yang kuat namun setelah tahun 2011 harga CPO telah melemah,
terutama karena permintaan dari RRT telah menurun, sementara rendahnya harga
minyak mentah (sejak pertengahan 2014) mengurangi permintaan biofuel berbahan
baku minyak sawit. Karena itu, prospek industri minyak sawit suram dalam jangka
waktu pendek, terutama karena Indonesia masih terlalu bergantung pada CPO
dibandingkan produk-produk minyak sawit olahan.
Pada
saat permintaan global kuat, bisnis minyak sawit di Indonesia menguntungkan
karena alasan-alasan berikut:
·
Margin laba yang besar, sementara komoditi
ini mudah diproduksi
·
Permintaan internasional yang besar dan
terus berkembang seiring kenaikan jumlah penduduk global
·
Biaya produksi minyak sawit mentah (CPO)
di Indonesia adalah yang paling murah di dunia
·
Tingkat produktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan produk minyak nabati
· Penggunaan biofuel diduga akan meningkat
secara signifikan, sementara penggunaan besin diperkirakan akan berkurang
Masalah-masalah
apa yang menghalangi perkembangan industri minyak sawit dunia?
·
Kesadaran bahwa penting untuk membuat
lebih banyak kebijakan ramah lingkungan
·
Konflik masalah tanah dengan penduduk
lokal karena ketidakjelasan kepemilikan tanah
·
Ketidakjelasan hukum dan
perundang-undangan
·
Biaya logistik yang tinggi karena kurangnya
kualitas dan kuantitas infrastruktur
Untuk meningkatkan perkembangan di
industri hilir, pajak ekspor untuk produk minyak sawit yang telah disuling
telah dipotong dalam beberapa tahun belakangan ini. Sementara itu, pajak ekspor
minyak sawit mentah (CPO) berada di antara 0%-22,5% tergantung pada harga
minyak sawit internasional. Indonesia memiliki 'mekanisme otomatis' sehingga
ketika harga CPO acuan Pemerintah (berdasarkan harga CPO lokal dan
internasional) jatuh di bawah 750 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik ton,
pajak ekspor dipotong menjadi 0%. Karena harga acuan ini jatuh di bawah 750
dollar AS per metrik ton di September 2013, Indonesia telah menetapkan pajak
ekspor CPO 0% sejak Oktober 2014.
Karena hal ini berarti Pemerintah kehilangan pendapatan
pajak ekspor yang sangat dibutuhkan dari industri minyak sawit, Pemerintah
memutuskan untuk memperkenalkan pungutan ekspor minyak sawit di pertengahan
2015. Pungutan sebesar 50 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik ton diterapkan
untuk ekspor minyak sawit mentah dan pungutan senilai 30 dollar AS per metrik
ton ditetapkan untuk ekspor produk-produk minyak sawit olahan.
Pungutan-pungutan ekspor minyak sawit ini hanya perlu dibayar oleh para
eksportir ketika harga CPO acuan Pemerintah jatuh di bawah batasan 750 dollar
AS per metrik ton (secara efektif memotong pajak ekspor minyak sawit menjadi
0%).
Beberapa
factor yang memepengaruhi harga minyak kelapa sawit :
o
Supply & demand
o
Harga pesaing
o
Cuaca
o
Kebijakan impor negara – negara yang
mengimpor kelapa sawit
o
Perubahan dalam kebijakan dan pungutan
ekspor atau impor
KESIMPULAN
1. Dalam
memanfaatkan peluang tersebut, Indonesia mengalami beberapa kendala utama yaitu
keterbatasan sumber pendanaan, otonomi dareah, dan tekanan isu lingkungan.
Dalam hal ini, pemerintah dan investor sangat dituntut menerapkan bebagai
kebijakan/upaya untuk mengatasi kendala tersebut.
2.
(kebijakan
perdagangan dan kebijakan dalam negeri) harus dilaksanakan oleh Indonesia
pemerintah untuk mendukung ekspansi kelapa sawit di Indonesia. Pajak ekspor
merupakan salah satu kebijakan perdagangan dilaksanakan oleh Indonesia pada
minyak sawit untuk mengendalikan harga minyak goreng domestik. Untuk kebijakan
domestik dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk seperti subsidi
produksi, program insentif pada penelitian tentang diferensiasi produk (produk
bernilai tambah) dan peningkatan standar mutu untuk ekspor minyak sawit
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2017. Minyak Kelapa Sawit. http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166?. (Diakses tanggal 2 April 2017)
Annisa,
N. 2012. Penentu Ekspor Kelapa Sawit Indonesia : Harga dan Estimasi Pendapatan
Elastis. https://chibechan.wordpress.com/2012/10/23/jurnal-2/. (Diakses tanggal 2 April 2017)
Hermanto,
P. 2012. Pengaruh Biaya Produksi Terhadap Pendapatan Petani Kelapa Sawit, http://agengveni.blogspot.co.id/2012/09/pengaruh-biaya-produksi-terhadap.html. (Diakses tanggal 2 April 2017)
Lubis.
I dan Yohansyah. W. 2014. Analisis Produktifitas Kelapa Sawit di PT. Perdana
Inti Sawit Perkasa Inti I, Riau. Bul.Argrohorti 2(1) : 125 – 131. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjr6e62xoXTAhWFpZQKHViHCPkQFggbMAA&url=http%3A%2F%2Fjournal.ipb.ac.id%2Findex.php%2Fbulagron%2Farticle%2Fdownload%2F8201%2Fpdf&usg=AFQjCNEX0Ch8tq1HDIaU3WzMykrp3mkazA&sig2=nc-q0q7Bmu-nFNFHh6tAuA. (Diakses tanggal 2 April 2017)
Susila. W. 2017. Pengembangan Kelapa
Sawit di Indonesia : Perspektif Jangka Panjang 2025. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=14&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjVqercsoXTAhVLMY8KHdxLDlc4ChAWCC0wAw&url=http%3A%2F%2Fojs.unud.ac.id%2Findex.php%2Fsoca%2Farticle%2Fdownload%2F4161%2F3146&usg=AFQjCNEpfJdAcgV4yr3LLAl2KrUJqjlxGg&sig2=mzQJUHoMgQdtyaJk1kvwVQ&bvm=bv.151325232,d.c2I. (Diakses tanggal 2 April 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.