.

Selasa, 21 Maret 2017

Permintaan Daging di Indonesia


@B40-Shofa

Abstrak
Permintaan akan daging sapi di Indonesia dari tahun ke tahu semakin meningkat, hal tersebut selain dipengaruhi oleh oeningkatan jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh peningkatan pengetahuan penduduk itu sendiri pentingnya mengkonsumsi protein hewani,
sehingga pola konsumsi berubah. Semula lebih banyak oenduduk Indonesia mengkonsumsi karbohidrat namun saat ini sudah banyak yang mengonkumsi daging, telur, dan susu. Untuk memenuhi kebutuhan protein nabati sudah dapat dipenuhi dari dalam negeri akan tetapi susu dan daging masih perlu impor
Kata kunci: prmintaan, penawaran, impor daging sapi, daging sapi
Pendahuluan
Berdasarkan data kontribusi daging sapi menduduki posisi kedua dengan total persentase (21,27%) setelah daging unggas dengan (58,02). Meskipun daging bukan kebutuhan pokok manusia tetapi permintaan nya tiap tahun kian meningkat, tercatat bahwa pada tahun 2012 Indonesia mengimpor sebanyak 85.000ton daging sapi dari negara tetangga.impor daging sapi awalnya hanya untuk memenuhi segmen pasar tertentu, namun kini telah memasuki segemn supermatkrt dan pasar tradisional. Hal ini juga di latar belakangi dengan penurunan produksi daging sapi dari 508,91 ribu ton menjadi 497,67 ribu ton.
Kenaikan daging sapi yang terjadi saat ini sebagau dampak dari ketidak seimbangan antara kuota ptoduksi dan tingginya permintaan masyarakata terhadap daging sapi. Terdapat pula sejumlah hambatan distribusi/transportasi sapi dari sentra produksi ke konsumen, baik menyangkut persolan transportasi  kapal antar pulau maupun transportasi darat ikut memicu kenaikan harga daging sapi.
Harga daging sapi dintahun 2013 khususnya pada saat mendekati hari raya idul fitri mengalami kenaikan signifikam. Sampai tahun 2014 harga daging sapi masih cukup tinggi dimana rata-rata bulan september mencapai Rp 99.896 per kg.
Produksi Daging Sapi
Perkembangan produksi daging sapi di Indonesia pada periode tahun 1984-2015 secara umum memiliki pola yang sama baik di jawa maupun luar jawa, yaitu cenderung meningkat. Selama periode tersebut, produksi daging sapi di Indonesia meningkat 2,68%. Perkembangan produksi di Jawa sebesar 2,41% dan luar jawa 4,44% per tahun. Sentra produksi daging sapi di Indonesia terdapat di 3 provinsi di pulau Jawa, yaitu: jawa timur kontribusi 21,09%, jawa barat 14,75%, jawa tengah 12,02%, selanjutnya di luar pulau jawa, yaitu: sumatera barat, sumatera utara, sumatera selatan, sulawesi selatan, dan lampung dengan kisaran kontribusi 2,44% sampai 4,72%


Harga daging sapi

Harga daging sapi di pasar ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran (HENDERSON and QUANDT, 1980). Model pasar yang demikian didasarkan pada teori keseimbangan pasar (theory of market equilibrium) (KOUTSOYIANNIS , 1977), dimana harga terjadi pada saat permintaan sama dengan penawaran. HALLAM (1990) dan LABYS (1975) menggunakan model pasar disequilibrium. Pada model disequilibrium, harga merupakan persamaan struktural.
Model pasar disequilibrium dapat digunakan untuk melihat adanya keterkaitan harga antar pasar yang ada dalam suatu persamaan simultan. Dalam studi ini digunakan model disequilibrium, dimana persamaan harga diformulasikan sebagai berikut:
PQ  = f ( PQL, Qd, St, PQ-1) …………………………………………..…. (12)
Dimana PQL merupakan harga produk pada level pasar yang berbeda dan St adalah stok daging sapi pada tahun t. Khusus untuk stok, karena daging sapi merupakan bahan makanan yang tidak tahan disimpan, kecuali pada cold storage, sementara fasilitas cold storage cukup mahal dan terbatas, maka stok daging dalam hal ini dianggap nol. Dari persamaan (12) dapat dibangun persamaan harga domestik, harga ekspor, dan harga impor suatu komiditas yang dimodifikasi berdasarkan fenomena aktual dan ketersediaan data.
Penawaran peternakan rakyat dipengaruhi oleh selisih harga daging sapi dengan harga sapi domestik dan penawaran industri peternakan rakyat. Penawaran peternakan rakyat responsif terhadap perubahan selisih harga daging sapi dengan harga sapi domestik. Keberadaan industri peternakan berpengaruh negatif terhadap penawaran usaha peternakan rakyat. Jika tidak ada pengendalian oleh pemerintah desakan penawaran daging sapi industri peternakan ini akan semakin nyata. Kegiatan IB yang diharapkan dapat meningkatkan produksi daging, belum memberikan pengaruh yang nyata dalam usaha peternakan rakyat.
Usaha peternakan sapi potong rakyat masih belum bankable. Padahal usaha penggemukan sapi potong dengan periode penggemukan 3–6 bulan cukup berkembang dan menjanjikan keuntungan yang cukup baik. Masalahnya sebagian peternak terbatas modalnya, sehingga mereka hanya memelihara dalam jumlah terbatas. Pada daerah-daerah tertentu dimana potensi pakannya memadai, skala pemilikan masih potensial untuk ditingkatkan.
Penawaran industri peternakan rakyat dipengaruhi harga daging sapi, harga sapi bakalan impor dan tingkat suku bunga. Penawaran industri peternakan rakyat reponsif terhadap perubahan harga yang lebih jauh dari biasanya.
Penawaran industri peternakan

Harga daging sapi memberikan pengaruh positif dan sangat nyata terhadap penawaran industri peternakan rakyat. Perubahan harga daging sapi baik jangka pendek maupun jangka panjang sangat direspon oleh usaha ini dengan nilai elastisitas masing- masing 5,14 dan 10,99. Tingginya respon tersebut mengindikasikan usaha ini telah dikelola dengan komersial layaknya suatu usaha industri.

Selain dipengaruhi dan respon terhadap perubahan harga output, usaha ini juga dipengaruhi harga input berupa harga sapi bakalan impor (cif) dan tingkat suku bunga bank. Kedua faktor input tersebut memberikan pengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap penawaran daging sapi industri peternakan. Penawaran industri peternakan dalam jangka pendek tidak responsif terhadap perubahan harga sapi bakalan impor dengan nilai elastisitas –0,52, akan tetapi dalam jangka panjang menjadi responsif, dengan nilai elastisitas –1,12. Sementara itu terhadap perubahan tingkat suku bunga baik jangka pendek maupun jangka panjang responsif dengan nilai elastisitas masing-masing –1,18 dan –2,52.

Berbeda dengan usaha peternakan rakyat, pada usaha industri peternakan, dumi musim berpengaruh positif, namun secara statistik tidak nyata. Artinya pada saat musim hujan penawaran cenderung meningkat. Seperti diketahui bahwa usaha ini penawarannya tidak dipengaruhi oleh ketersediaan hijauan pakan, karena sebagian besar pakannya dipenuhi dari pakan konsentrat. Sementara itu penggunaan pakan hijauan selain dalam bentuk segar juga banyak menggunakan silase yang selalu dipersiapkan untuk kebutuhan sepanjang tahun. Dengan demikian musim tidak terlalu berpengaruh.

Impor daging sapi Indonesia

Harga daging sapi impor berpengaruh negatif terhadap jumlah impor daging sapi, namun pengaruhnya tidak nyata. Pada umumnya, konsumen daging sapi impor mempunyai pendapatan yang relatif tinggi, maka kenaikan harga daging sapi impor tidak memberikan pengaruh berarti terhadap volume impor. Tingginya permintaan daging sapi saat lebaran, berpengaruh positif dan nyata terhadap volume impor daging sapi. Artinya pada saat tersebut, untuk mencukupi permintaan domestik yang tinggi, Indonesia harus memenuhi dari pasokan daging impor. Sementara itu, jumlah turis asing yang diduga banyak mengkonsumsi daging sapi impor, memberikan pengaruh positif tetapi tidak nyata terhadap volume daging impor.

Untuk melindungi usaha peternakan rakyat dari desakan daging impor yang harganya cukup bersaing, pemerintah mengenakan tarif terhadap harga daging sapi impor yang masuk ke Indonesia. Tarif impor memberikan pengaruh negatif terhadap volume impor daging sapi dan secara statistik pengaruhnya sangat nyata. Volume impor daging sapi sangat responsif terhadap perubahan tarif baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai elastisitas masing -masing –5,05 dan –7,62. Dengan demikian, upaya melindungi usaha peternakan sapi potong dalam negeri dari impor daging sapi sangat efektif dengan pengenaan tarif impor daging sapi.

Konsumsi daging sapi

Harga daging sapi berpengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap konsumsi daging sapi. Tingkat konsumsi daging sapi responsif terhadap perubahan harga, walaupun dalam jangka pendek nilai elastisitasnya sudah mendekati satu (-1,05), sedangkan dalam jangka panjang nilai elastisitasnya –1,39. Dengan demikian daging sapi masih merupakan barang mewah bagi sebagian masyarakat Indonesia yang dikonsumsi hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Kenyataan ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh RUSASTRA (1987), NASUTION (1983),
dan SUDARYANTO, SYAHYUTI, dan SOEDJANA (1995).

Pendapatan masyarakat memberikan pengaruh positif terhadap konsumsi, namun tidak berpengaruh nyata. Hasil penelitian sebelumnya antara tahun 1976–1994, yang dilakukan oleh NASUTION (1983), RUSASTRA (1987), ARTAKUSUMA (1991), dan DEWI (1994), menghasilkan nilai elastisitas pendapatan yang bervariasi antara 0,10–3,18. Suatu hal yang menarik dari studi terdahulu adalah sejalan dengan waktu ada kecenderungan nilai elastisitas pendapatan semakin mengecil. Hal yang sama diperoleh DYCK (1988) dari hasil studinya di Jepang. Kecenderungan tersebut dapat dijadikan indikasi adanya peningkatan pendapatan masyarakat, dimana nantinya daging sapi sudah bukan lagi merupakan barang mewah, sehingga konsumsi tidak responsif terhadap perubahan pendapatan.

Jumlah penduduk kota yang merupakan proksi dari penduduk yang berpendidikan dan mempunyai akses terhadap fasilitas sosial ekonomi lebih baik dibandingkan penduduk pedesaan memberikan pengaruh positif , namun tidak nyata terhadap konsumsi daging sapi. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat terhadap daging sapi tidak hanya ditentukan oleh pendapatan, tetapi juga ditentukan tingkat pendidikan dan aksesibilitas terhadap fasilitas sosial ekonomi yang ada. Namun demikian kedua faktor ini belum nyata pengaruhnya, karena tidak semua penduduk kota mempunyai pendidikan yang relatif tinggi dan akses pada semua fasilitas sosial ekonomi di kota.

Ikan merupakan salah satu komoditas substitusi daging sapi, terutama pada daerah-daerah pinggiran pantai. Fenomena di lapang sering dijumpai pada saat penangkapan ikan laut meningkat, harga ikan menjadi turun. Akibatnya banyak masyarakat mengkonsumsi ikan, sehingga permintaan terhadap daging sapi mengalami penurunan. Namun demikian permintaan daging sapi tidak responsif terhadap perubahan harga ikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan nilai elastisitas masing-masing 0,56 dan 0,74.

Seperti halnya terhadap penawaran dan impor daging sapi, konsumsi daging sapi juga mengalami peningkatan yang sangat nyata pada saat menjelang hari lebaran. Dari nilai koefisien parameter dugaannya, perbedaan konsumsi saat lebaran dengan saat di luar lebaran mencapai 4.218

397

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001


ton. Dengan fenomena ini selayaknya pemerintah memperhatikan pasokan pada even seperti ini, sehingga masyarakat yang hanya sewaktu-waktu mengkonsumsi tidak terlalu kesulitan memperoleh daging sapi dengan harga yang tidak terlalu tinggi.

Harga daging sapi domestik

Harga daging sapi dipengaruhi oleh banyak faktor. Harga ternak sapi dan harga daging sapi impor berpengaruh positif dan secara statistik nyata terhadap harga daging sapi domestik. Namun harga daging sapi domestik tidak responsif terhadap perubahan harga keduanya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan demikian kebijakan pengendalian harga ternak dan harga daging impor untuk mengendalikan harga daging sapi domestik kurang efektif.

Penawaran yang berasal dari usaha peternakan rakyat, industri peternakan, dan daging sapi impor memberikan pengaruh negatif dan secara statistik sangat nyata terhadap harga daging sapi domestik. Namun harga daging sapi domestik tidak responsif terhadap perubahan penawaran tersebut. Trend waktu dan dumi hari raya juga berpengaruh positif dan pengaruhnya secara statistik sangat nyata terhadap harga daging sapi domestik.

Pada persamaan ini semua peubah penjelas secara statistik memberikan pengaruh yang nyata, namun tidak satu pun peubah yang dapat menentukan harga daging sapi domestik, hal ini dapat dilihat dari tidak responsifnya harga daging sapi terhadap perubahan peubah penjelasnya. Artinya ada faktor lain yang menentukan harga daging sapi domestik, diantaranya pengendalian sisi penawaran yang selama ini sering dilakukan oleh pemerintah.

Harga daging sapi impor

Harga daging sapi dunia berpengaruh positif terhadap harga daging impor, namun secara statistik tidak berpengaruh nyata. Sementara itu karena sebagian besar impor daging sapi Indonesia berasal dari Australia, maka harga ternak sapi di Austalia memberikan pengaruh positif, namun secara statistik tidak nyata terhadap harga daging impor Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa impor daging sapi Indonesia tidak hanya dari Australia, tetapi kenyataannya juga dari Selandia Baru, Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa.

Harga daging sapi dunia

Nilai rasio impor daging sapi Amerika Serikat terhadap impor dunia berpengaruh positif dan secara statistik nyata terhadap harga daging sapi dunia. Namun harga daging sapi dunia tidak responsif terhadap perubahan nilai rasio impor tersebut. Hal ini dapat disebabkan oleh peran Amerika Serikat sebagai negara importir sekaligus juga negara eksportir. Dengan demikian perubahan impor dan ekspornya tidak terlalu menentukan harga dunia, melainkan ditentukan oleh perkembangan harga yang terjadi.

Nilai rasio ekspor daging sapi Selandia Baru terhadap ekspor daging sapi dunia berpengaruh negatif dan secara statistik nyata terhadap harga daging sapi dunia. Dalam jangka panjang harga dunia responsif terhadap perubahan nilai rasio tersebut. Artinya, kebijakan yang berkaitan dengan produksi dan ekspor daging sapi di Selandia Baru akan menentukan tingkat harga daging sapi dunia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.