.

Selasa, 12 April 2016

Urgensi Pajak Rokok




Pendahuluan
   Sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, per tanggal 1 Januari 2014, Pemerintah Daerah khususnya provinsi akan diberi kewenangan memungut pajak rokok sebesar 10% dari tarif cukai rokok nasional.
Dari hasil simulasi awal  pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, potensi pemungutan pajak rokok oleh provinsi tahun 2014 sebesar Rp11,63 triliun. Dengan asumsi jumlah provinsi 33, maka secara rata-rata, tambahan penerimaan masing-masing provinsi mencapai Rp330 miliar.
Obyek pajak rokok adalah adalah konsumsi rokok, yang terdiri dari sigaret, cerutu, dan rokok daun. Sedangkan subyeknya konsumen rokok, dengan wajib pajak pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC).
Pajak rokok dipungut oleh pemerintah bersamaan dengan pemungutan cukai rokok, dan disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional, berdasarkan jumlah penduduk. Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan terhadap rokok, dengan besaran tarif 10% dari cukai rokok. Pemanfaatan pajak rokok minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
Sebagai negara surganya perokok, rencana ini tentu ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Ada yang pro, namun tidak sedikit yang kontra. Ada pula yang menilai pajak rokok sejatinya hanyalah kompromi pemerintah dengan industri rokok dalam menghadapi tekanan isu kesehatan. Terlepas dari semua kontroversi tersebut, pajak rokok adalah wajib dan harus dilaksanakan demi kepentingan nasional.

permasalahan

Surga Perokok
    Sudah lama Indonesia dikenal sebagai surganya perokok. Dengan penduduk sekitar 230 juta jiwa, serta regulasi yang kurang tegas, Indonesia menjadi incaran para produsen rokok. Tingginya kesadaran bahaya rokok di negara maju, juga memacu perusahaan rokok mengalihkan pasar ke Indonesia. Anak-anak dan generasi muda menjadi target potensial sebagai kunci kelanggengan bisnis. Mereka dapat diubah menjadi perokok pemula, menggantikan perokok lama yang berhenti merokok atau meninggal karena penyakit akibat rokok.  
Menilik data Kemenkes, tahun 2007-2010 terjadi peningkatan umur mulai merokok pada usia yang lebih muda. Tahun 2007, umur pertama kali merokok usia 5-9th 1,2%, usia 10-14th 10,3%, usia 15-19th 33,1%, usia 20-24th 12,1%, usia 25-29th 3,4% dan usia diatas 30th sebesar 4%.  Tahun 2010, usia 5-9th 1,7%, usia 10-14th 17,5%, usia 15-19th 43,3%, usia 20-24th 14,6%, usia 25-29th 4,3% dan usia diatas 30th sebesar 3,9%.
Angka prevelensi merokok di Indonesia juga meningkat signifikan. Menurut data Kemenkes, tahun 2007 penduduk Indonesia berusia diatas 15th yang merokok setiap hari 27,2%, merokok tidak setiap hari 6,1%, mantan perokok 3,7%, dan yang tidak merokok sebesar 63%. Tahun 2010, yang merokok setiap hari menjadi 28,2%, merokok tidak setiap hari 6,5%, mantan perokok 5,4% dan yang tidak merokok 59,9%.     
Perokok di Indonesia juga terus meningkat jumlahnya setiap tahun. Kurun waktu 1970-2000, menurut data Kemenkes, konsumsi rokok Indonesia meningkat dari 33 miliar batang menjadi 217 miliar batang. Tahun 2008, konsumsi rokok Indonesia telah mencapai 240 miliar batang, terus meningkat menjadi 279,4 miliar batang tahun 2011. Hal ini berarti setiap hari jumlah konsumsi rokok di Indonesia berjumlah sekitar 10,95 batang. Akibatnya, Indonesia menjadi negara perokok terbesar ke-3 setelah China dan India, serta menjadi salah satu negara yang belum meratifikasi Protokol Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC).

pembahasan

Bahaya Rokok
    Asap rokok mengandung 4000 macam racun dengan 69 diantaranya bersifat karsinogenik yang menimbulkan kanker. Dampak asap rokok juga merugikan baik bagi perokok pasif maupun aktif. Rokok sering disebut silent killer karena timbul secara perlahan dan lama, tidak langsung serta tidak nampak secara nyata. Kebiasaan merokok juga memacu berbagai penyakit lainnya seperti kanker, kardiovaskuler, gangguan kehamilan dan janin.
Rokok juga menimbulkan dampak ekonomi, khususnya bagi golongan menengah miskin. Berdasarkan studi Lembaga Demografi UI, pengeluaran keluarga menengah miskin untuk rokok melebihi pengeluaran makanan, pendidikan dan kesehatan, sehingga ada kesempatan yang hilang akibat merokok.

Peran Rokok dan Lemahnya Regulasi
   Dilema industri rokok bagi Pemerintah sebetulnya wajar. Menurut data Kemenkeu, tahun 2008 industri rokok menyumbang Rp51,3 triliun dan terus meningkat menjadi Rp83,3 triliun dalam APBN-P 2012. Industri tembakau juga memberikan kesejahteraan bagi petani tembakau, khususnya di beberapa daerah yang memang terkenal sebagai sentra utama tembakau seperti di Jatim dan beberapa daerah lainnya.
Namun demikian, lemahnya regulasi sepertinya perlu mendapat perhatian, khususnya ketika rokok berkamuflase lewat Corporate Social Responsibility (Tanggungjawab Sosial Perusahaan) dan berbagai iklan, promosi dan sponsorhip (IPS). Ada upaya menjadikan rokok sebagai citra positif Indonesia dari kalangan industri rokok, dengan harapan menjadikan Indonesia sebagai pasar rokok terbesar di dunia. Akibatnya di pasar-pasar, terminal, stasiun, jalan umum, bandara, bahkan di ruang sesempit apapun, rokok mampu menjangkau masyarakat.
Memberikan beasiswa, keperdulian masyarakat, sponsor musik dan fasilitas kesehatan gratis sering dijadikan upaya pencitraan rokok. Lebih mengherankan ketika rokok menjadi sponsor utama berbagai event olah raga. Ironis memang, olah raga yang mengandung pesan kesehatan, justru disponsori rokok yang memiliki citra merusak kesehatan. Tapi apa boleh buat, aturan justru dibuat dan dijalankan oleh pihak yang berduit.
Untuk kasus ini, Indonesia wajib belajar dari negara tetangga. Thailand sudah melarang IPS dan CSR rokok di sejumlah bidang kegiatan. Mereka juga menerapkan pajak rokok untuk perbaikan kesehatan masyarakat. Kamboja dan Laos, mampu melarang IPS rokok secara total di negaranya. Amerika sebagai produsen rokok terbesar pun, sudah mampu membebaskan diri dari iklan rokok plus menjual rokok dengan harga selangit.

Kesimpulan dan saran
     Berbagai uraian di atas sepertinya sudah mampu menggambarkan urgensi Pemerintah menerapkan pajak rokok. Dengan adanya pajak rokok tersebut, diharapkan rokok menjadi komoditas mahal di Indonesia, yang tidak akan dengan mudah terjangkau oleh masyarakat, minimal oleh perokok pemula dan keluarga menengah miskin. Demi terciptanya generasi muda Indonesia yang berkualitas, harapan ini seharusnya didukung oleh seluruh elemen bangsa dengan penuh kesadaran diri. Pajak rokok diadakan bukan untuk mematikan industri rokok, namun memberikan dis-insentif meningkatnya jumlah perokok pasif khususnya dikalangan anak-anak dan generasi muda.

Penerbit
Oleh Joko Tri Haryanto, Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan


Daftar pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.