Abstrak
Perekonomian global yang semakin terintegrasi telah meningkatkan kerentanan pendapatan nasional terhadap guncangan eksternal. Artikel ini menganalisis dampak berbagai krisis global terhadap stabilitas pendapatan nasional dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan suatu negara.
Melalui pendekatan analisis deskriptif dan studi kasus komparatif, penelitian ini mengkaji pembelajaran dari krisis keuangan Asia 1997-1998, krisis keuangan global 2008-2009, dan pandemi COVID-19. Temuan menunjukkan bahwa negara-negara dengan struktur ekonomi yang didominasi ekspor komoditas primer, ketergantungan tinggi pada aliran modal asing, dan sistem keuangan yang lemah cenderung lebih rentan terhadap guncangan eksternal. Diversifikasi ekonomi, penguatan cadangan devisa, pengembangan pasar keuangan domestik, dan penerapan kebijakan makroprudensial terbukti efektif dalam mengurangi kerentanan. Artikel ini merekomendasikan strategi komprehensif untuk membangun ketahanan ekonomi nasional melalui reformasi struktural, penguatan institusi, dan koordinasi kebijakan regional maupun global.Kata Kunci: kerentanan ekonomi,
guncangan eksternal, krisis global, ketahanan ekonomi, pendapatan nasional,
stabilitas makroekonomi
Pendahuluan
Globalisasi ekonomi telah
menciptakan interdependensi yang semakin dalam antar negara, namun sekaligus
meningkatkan eksposur terhadap risiko guncangan eksternal. Pendapatan nasional,
yang tercermin dalam Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi indikator utama
stabilitas ekonomi suatu negara. Namun, dalam era globalisasi ini, pendapatan
nasional menghadapi tantangan signifikan dari berbagai sumber guncangan
eksternal yang dapat mempengaruhi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Guncangan eksternal dapat berasal
dari berbagai sumber, mulai dari krisis keuangan global, fluktuasi harga
komoditas internasional, perubahan kebijakan moneter negara maju, hingga
bencana pandemi global. Krisis keuangan Asia 1997-1998 menunjukkan bagaimana
contagion effect dapat menyebar dengan cepat dan menghancurkan perekonomian
regional. Krisis keuangan global 2008-2009 membuktikan bahwa tidak ada negara
yang kebal dari guncangan sistemik global. Pandemi COVID-19 telah memberikan
pembelajaran baru tentang bagaimana shock non-ekonomi dapat memberikan dampak
ekonomi yang mendalam dan berkepanjangan.
Kerentanan terhadap guncangan
eksternal tidak sama untuk semua negara. Faktor-faktor seperti struktur
ekonomi, tingkat diversifikasi, ketergantungan pada perdagangan internasional,
kualitas institusi, dan kebijakan makroekonomi memainkan peran penting dalam
menentukan tingkat kerentanan suatu negara. Negara-negara berkembang umumnya
lebih rentan dibandingkan negara maju karena keterbatasan dalam diversifikasi
ekonomi, akses terhadap pasar keuangan internasional, dan kapasitas kebijakan.
Pemahaman tentang kerentanan
pendapatan nasional terhadap guncangan eksternal menjadi semakin penting dalam
konteks ketidakpastian global yang meningkat. Perubahan iklim, ketegangan
geopolitik, revolusi teknologi, dan transformasi struktur perdagangan global
menciptakan sumber-sumber guncangan baru yang perlu diantisipasi. Oleh karena
itu, analisis komprehensif tentang faktor-faktor kerentanan dan strategi
mitigasi menjadi sangat relevan untuk perumusan kebijakan ekonomi yang tepat.
Artikel ini bertujuan untuk
menganalisis kerentanan pendapatan nasional terhadap guncangan eksternal dengan
mengambil pembelajaran dari berbagai krisis global yang telah terjadi. Fokus
analisis mencakup identifikasi sumber-sumber guncangan, faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat kerentanan, mekanisme transmisi guncangan, dan strategi
yang dapat diterapkan untuk membangun ketahanan ekonomi nasional.
Permasalahan
Kerentanan pendapatan nasional
terhadap guncangan eksternal menimbulkan berbagai permasalahan yang kompleks
dan multidimensional. Permasalahan utama terletak pada identifikasi dan
kuantifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan suatu negara.
Tidak semua negara memiliki tingkat kerentanan yang sama, dan pemahaman tentang
determinan kerentanan ini masih terus berkembang seiring dengan evolusi
struktur ekonomi global.
Permasalahan kedua berkaitan
dengan mekanisme transmisi guncangan eksternal ke ekonomi domestik. Guncangan
dapat ditransmisikan melalui berbagai saluran, termasuk perdagangan
internasional, aliran modal, sistem keuangan, dan ekspektasi pasar. Kompleksitas
interaksi antar saluran transmisi ini membuat prediksi dampak guncangan menjadi
sulit dan seringkali tidak akurat.
Ketiga, terdapat trade-off antara
integrasi ekonomi global dengan stabilitas ekonomi domestik. Semakin
terintegrasi suatu negara dengan ekonomi global, semakin besar manfaat yang
dapat diperoleh dari perdagangan dan investasi internasional. Namun, integrasi
yang tinggi juga berarti eksposur yang lebih besar terhadap guncangan
eksternal. Menentukan tingkat integrasi yang optimal menjadi tantangan
kebijakan yang signifikan.
Keempat, keterbatasan instrumen
kebijakan dalam menghadapi guncangan eksternal. Kebijakan moneter dan fiskal
domestik memiliki keterbatasan dalam menghadapi guncangan yang bersumber dari
luar negeri, terutama untuk negara-negara kecil dan terbuka. Koordinasi
kebijakan internasional sering diperlukan, namun sulit dicapai karena perbedaan
kepentingan nasional.
Kelima, asimetri informasi dan
ketidakpastian dalam menghadapi guncangan eksternal. Guncangan eksternal
seringkali bersifat tidak terprediksi dan berkembang dengan cepat, sementara
pembuat kebijakan memiliki informasi yang terbatas dan waktu respons yang
singkat. Hal ini dapat menyebabkan kebijakan yang tidak optimal atau bahkan
kontraproduktif.
Pembahasan
Konsep Kerentanan Ekonomi dan
Guncangan Eksternal
Kerentanan ekonomi (economic
vulnerability) merujuk pada tingkat eksposur dan sensitivitas suatu
perekonomian terhadap guncangan eksternal yang berada di luar kendali domestik.
Konsep ini mencakup dua dimensi utama: eksposur (exposure) yang mengukur seberapa
besar perekonomian terpapar pada guncangan eksternal, dan ketahanan
(resilience) yang mengukur kemampuan perekonomian untuk menyerap dan pulih dari
guncangan tersebut.
Guncangan eksternal dapat
dikategorikan menjadi beberapa jenis berdasarkan sumbernya. Guncangan
perdagangan (trade shocks) terjadi ketika terdapat perubahan signifikan dalam
harga komoditas internasional, permintaan ekspor, atau kebijakan perdagangan
negara lain. Guncangan keuangan (financial shocks) berkaitan dengan perubahan
mendadak dalam aliran modal internasional, suku bunga global, atau kepercayaan
investor terhadap suatu negara. Guncangan moneter global (global monetary
shocks) terjadi ketika bank sentral negara maju mengubah stance kebijakan
moneternya yang berdampak pada kondisi likuiditas global.
Indeks kerentanan ekonomi telah
dikembangkan oleh berbagai institusi internasional untuk mengukur tingkat
kerentanan suatu negara. Economic Vulnerability Index (EVI) yang dikembangkan
oleh UN-OHRLLS mencakup indikator seperti konsentrasi ekspor, ketergantungan
pada impor makanan, populasi yang terancam bencana alam, dan ketidakstabilan
produksi pertanian. Sementara itu, IMF menggunakan berbagai indikator
makroekonomi dan keuangan untuk menilai kerentanan eksternal suatu negara.
Pembelajaran dari Krisis Keuangan
Asia 1997-1998
Krisis keuangan Asia 1997-1998
memberikan pembelajaran penting tentang kerentanan ekonomi negara berkembang
terhadap guncangan eksternal. Krisis ini dimulai dari Thailand pada Juli 1997
dengan serangan spekulatif terhadap baht Thailand, kemudian menyebar dengan
cepat ke negara-negara Asia lainnya termasuk Indonesia, Korea Selatan,
Malaysia, dan Filipina.
Faktor-faktor kerentanan yang
teridentifikasi dari krisis ini mencakup ketidakseimbangan makroekonomi,
terutama defisit transaksi berjalan yang besar dan ketergantungan pada aliran
modal jangka pendek. Banyak negara Asia memiliki sistem nilai tukar yang rigid
(managed float atau currency board) yang membuat mereka rentan terhadap
serangan spekulatif. Sistem perbankan yang lemah dengan tingkat non-performing
loans yang tinggi dan pengawasan yang tidak memadai juga memperbesar dampak
krisis.
Mekanisme transmisi krisis
terjadi melalui beberapa saluran. Pertama, saluran keuangan melalui capital
flight dan banking panic yang menyebabkan krisis likuiditas. Kedua, saluran
perdagangan melalui penurunan daya saing ekspor akibat depresiasi mata uang
negara pesaing. Ketiga, saluran kepercayaan melalui contagion effect dan
herding behavior investor internasional.
Respons kebijakan yang diterapkan
berbeda-beda antar negara. Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan mengambil
program bantuan IMF dengan kondisionalitas yang ketat, termasuk pengetatan
fiskal dan moneter serta reformasi struktural. Malaysia memilih pendekatan yang
berbeda dengan menerapkan kontrol modal dan mempertahankan stimulus fiskal.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa tidak ada one-size-fits-all solution dalam
menghadapi krisis keuangan.
Pembelajaran dari Krisis Keuangan
Global 2008-2009
Krisis keuangan global 2008-2009
yang bermula dari subprime mortgage crisis di Amerika Serikat memberikan
pembelajaran baru tentang bagaimana guncangan dari negara maju dapat
mempengaruhi seluruh dunia. Berbeda dengan krisis Asia yang bersifat regional, krisis
ini bersifat global dan menunjukkan tingkat interconnectedness yang tinggi
dalam sistem keuangan internasional.
Transmisi krisis terjadi melalui
multiple channels secara bersamaan. Saluran perdagangan internasional mengalami
kontraksi tajam karena penurunan permintaan global dan tightening credit
conditions. Saluran keuangan mengalami gangguan severe karena banking crisis di
negara-negara maju yang menyebabkan credit crunch global. Saluran komoditas
mengalami volatilitas tinggi dengan penurunan tajam harga komoditas primer yang
merugikan negara-negara eksportir komoditas.
Negara-negara dengan struktur
ekonomi yang berbeda menunjukkan tingkat kerentanan yang berbeda pula.
Negara-negara eksportir komoditas seperti Brasil, Rusia, dan Australia
mengalami dampak berat melalui penurunan harga komoditas dan penurunan
permintaan ekspor. Negara-negara dengan sistem keuangan yang terintegrasi
dengan pasar keuangan global seperti Korea Selatan dan Singapura mengalami
capital outflows yang signifikan.
Respons kebijakan global terhadap
krisis ini lebih terkoordinasi dibandingkan krisis sebelumnya. G20 memainkan
peran penting dalam koordinasi stimulus fiskal global dan reformasi regulasi
keuangan. Bank sentral negara maju menerapkan unconventional monetary policy
seperti quantitative easing yang memberikan dampak spillover yang signifikan
terhadap negara berkembang melalui portfolio flows.
Pembelajaran dari Pandemi
COVID-19
Pandemi COVID-19 yang dimulai
pada awal 2020 memberikan jenis guncangan eksternal yang berbeda dari
krisis-krisis sebelumnya. Ini merupakan supply and demand shock sekaligus yang
bersumber dari faktor non-ekonomi namun memberikan dampak ekonomi yang mendalam
dan berkepanjangan.
Karakteristik unik dari guncangan
COVID-19 adalah sifatnya yang simultaneous dan synchronized across countries.
Lockdown dan social distancing measures diterapkan hampir bersamaan di seluruh
dunia, menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi global yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Sektor-sektor tertentu seperti pariwisata, penerbangan, dan
hospitality mengalami dampak yang devastatingwsementara sektor teknologi dan
e-commerce justru mengalami pertumbuhan.
Mekanisme transmisi guncangan
COVID-19 berbeda dari krisis keuangan tradisional. Supply chain disruption
menjadi saluran transmisi utama karena gangguan produksi dan logistik global.
Labor market shock terjadi karena pembatasan mobilitas dan social distancing.
Uncertainty shock mempengaruhi investasi dan konsumsi melalui peningkatan
saving rate dan penundaan keputusan ekonomi.
Respons kebijakan terhadap
COVID-19 juga unik dengan kombinasi kebijakan kesehatan dan ekonomi. Fiscal
policy menjadi instrumen utama dengan stimulus package yang sangat besar,
sementara monetary policy memberikan dukungan melalui penurunan suku bunga dan
quantitative easing. Kebijakan struktural seperti digitalisasi dan transformasi
ekonomi hijau juga dipercepat.
Faktor-Faktor Determinan
Kerentanan
Analisis dari berbagai krisis
menunjukkan beberapa faktor utama yang menentukan tingkat kerentanan suatu
negara terhadap guncangan eksternal. Struktur ekonomi merupakan faktor
fundamental, di mana negara dengan diversifikasi ekonomi yang rendah dan ketergantungan
tinggi pada sektor tertentu (seperti komoditas primer) cenderung lebih rentan.
Openness ekonomi memiliki
hubungan yang kompleks dengan kerentanan. Di satu sisi, keterbukaan meningkat
eksposur terhadap guncangan eksternal. Di sisi lain, economic openness juga
dapat meningkatkan fleksibilitas dan adaptabilitas ekonomi. Trade openness dan
financial openness dapat memiliki dampak yang berbeda terhadap kerentanan.
Kualitas institusi dan governance
memainkan peran penting dalam menentukan kemampuan suatu negara untuk
menghadapi guncangan eksternal. Negara dengan institusi yang kuat, rule of law
yang baik, dan governance yang transparan cenderung lebih resilient terhadap
guncangan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengimplementasikan
kebijakan yang efektif dan mempertahankan kepercayaan investor.
Kondisi makroekonomi fundamental
seperti fiscal space, debt sustainability, current account balance, dan
international reserves mempengaruhi kapasitas untuk merespons guncangan. Negara
dengan fiscal deficit yang tinggi dan debt-to-GDP ratio yang besar memiliki
ruang gerak kebijakan yang terbatas. External imbalances yang besar membuat
negara rentan terhadap sudden stops dalam capital flows.
Sistem keuangan domestik juga
merupakan determinan penting kerentanan. Sistem perbankan yang sehat dengan
adequate capitalization, prudent risk management, dan effective supervision
dapat berfungsi sebagai shock absorber. Sebaliknya, sistem keuangan yang
fragile dapat memperbesar dampak guncangan eksternal melalui amplification
effects.
Mekanisme Transmisi Guncangan
Guncangan eksternal
ditransmisikan ke ekonomi domestik melalui berbagai saluran yang saling
berinteraksi. Trade channel merupakan saluran yang paling langsung, di mana
guncangan mempengaruhi volume dan harga perdagangan internasional. Penurunan
permintaan ekspor atau kenaikan harga impor dapat langsung mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi dan neraca pembayaran.
Financial channel berperan
penting terutama untuk negara dengan pasar keuangan yang terintegrasi dengan
pasar global. Capital flows volatility dapat menyebabkan exchange rate
volatility dan mempengaruhi kondisi moneter domestik. Banking channel dapat memperbesar
dampak guncangan melalui credit crunch dan banking panic.
Commodity channel sangat relevan
untuk negara-negara eksportir komoditas primer. Fluktuasi harga komoditas
internasional langsung mempengaruhi terms of trade dan penerimaan ekspor.
Volatilitas harga komoditas yang tinggi dapat menyebabkan fiscal revenue volatility
dan exchange rate volatility.
Confidence channel bekerja
melalui perubahan ekspektasi dan sentimen pasar. Guncangan eksternal dapat
mempengaruhi confidence indicator seperti consumer confidence, business
confidence, dan investor sentiment. Perubahan kepercayaan ini dapat
mempengaruhi keputusan konsumsi, investasi, dan portfolio allocation.
Strategi Mitigasi Kerentanan
Berdasarkan pembelajaran dari
berbagai krisis, beberapa strategi dapat diterapkan untuk mengurangi kerentanan
terhadap guncangan eksternal. Economic diversification merupakan strategi
jangka panjang yang fundamental untuk mengurangi ketergantungan pada sektor
tertentu. Diversifikasi dapat dilakukan dalam dimensi produk, pasar ekspor, dan
sumber pertumbuhan ekonomi.
Penguatan external buffers
melalui akumulasi international reserves, diversifikasi sumber pembiayaan
eksternal, dan pengembangan local currency bond market dapat meningkatkan
ketahanan terhadap guncangan keuangan. Adequate reserve coverage dan akses terhadap
international liquidity facilities memberikan ruang gerak dalam menghadapi
capital flow reversals.
Pembangunan sistem keuangan yang
resilient melalui strengthening banking supervision, macroprudential policy,
dan financial infrastructure development. Sistem keuangan yang sehat dapat
berfungsi sebagai shock absorber dan memfasilitasi transmisi kebijakan moneter
yang efektif.
Penerapan flexible exchange rate
regime umumnya memberikan automatic adjustment mechanism terhadap guncangan
eksternal. Namun, hal ini perlu didukung dengan credible monetary policy
framework dan financial market development yang memadai.
Koordinasi kebijakan regional dan
internasional dapat membantu mengurangi dampak guncangan sistemik. Regional
financial safety nets seperti Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM)
dan bilateral swap agreements dapat memberikan akses terhadap liquidity
support. Multilateral trade agreements dapat mengurangi trade protectionism
selama krisis.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Analisis terhadap berbagai krisis
global menunjukkan bahwa kerentanan pendapatan nasional terhadap guncangan
eksternal merupakan fenomena yang kompleks dan multidimensional. Tingkat
kerentanan suatu negara ditentukan oleh interaksi berbagai faktor, termasuk
struktur ekonomi, tingkat keterbukaan, kualitas institusi, kondisi makroekonomi
fundamental, dan sistem keuangan domestik.
Pembelajaran dari krisis keuangan
Asia 1997-1998 menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan makroekonomi dan
menghindari excessive reliance pada capital flows jangka pendek. Crisis
keuangan global 2008-2009 memberikan pelajaran tentang interconnectedness
sistem keuangan global dan perlunya koordinasi kebijakan internasional. Pandemi
COVID-19 mendemonstrasikan bahwa guncangan non-ekonomi dapat memberikan dampak
ekonomi yang devastatingwdan memerlukan respons kebijakan yang comprehensive
dan innovative.
Mekanisme transmisi guncangan
eksternal terjadi melalui multiple channels yang saling berinteraksi, termasuk
trade, financial, commodity, dan confidence channels. Kompleksitas interaksi
ini membuat prediksi dampak guncangan menjadi challenging dan memerlukan
monitoring yang comprehensive serta early warning systems yang efektif.
Tidak ada strategi universal
untuk mengurangi kerentanan karena setiap negara memiliki karakteristik dan
tantangan yang unik. Namun, beberapa prinsip umum dapat diterapkan, termasuk
diversifikasi ekonomi, penguatan external buffers, pembangunan sistem keuangan
yang resilient, dan koordinasi kebijakan regional maupun internasional.
Saran
Berdasarkan analisis yang telah
dilakukan, beberapa saran strategis dapat dirumuskan untuk mengurangi
kerentanan pendapatan nasional terhadap guncangan eksternal:
Penguatan Fundamental
Makroekonomi: Pemerintah perlu menjaga keseimbangan makroekonomi melalui
pengelolaan fiscal yang prudent, menjaga current account deficit pada tingkat
yang sustainable, dan membangun fiscal space untuk memberikan ruang gerak
kebijakan counter-cyclical. Debt management yang efektif dan diversifikasi
sumber pembiayaan juga penting untuk mengurangi kerentanan fiscal.
Diversifikasi Struktur Ekonomi:
Strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada sektor tertentu
melalui pengembangan industri manufaktur, sektor jasa, dan ekonomi digital.
Diversifikasi pasar ekspor dan produk ekspor dapat mengurangi eksposur terhadap
guncangan spesifik negara atau komoditas tertentu.
Penguatan Sistem Keuangan:
Implementasi regulatory framework yang comprehensive, penguatan supervision dan
surveillance, serta pengembangan macroprudential policy untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan. Pengembangan pasar keuangan domestik, terutama local
currency bond market, dapat mengurangi ketergantungan pada pembiayaan
eksternal.
Pembangunan External Buffers:
Akumulasi international reserves pada tingkat yang adequate, pengembangan akses
terhadap international liquidity facilities, dan diversifikasi portfolio
cadangan devisa. Pembangunan sovereign wealth fund dapat membantu mengelola
revenue volatility dari sumber daya alam.
Penguatan Institusi dan
Governance: Investasi dalam institutional development, penegakan rule of law,
dan peningkatan transparansi dan akuntabilitas governance. Institusi yang kuat
dapat meningkatkan credibility kebijakan dan menjaga kepercayaan investor
selama periode guncangan.
Koordinasi Regional dan Internasional: Partisipasi aktif dalam jaring pengaman keuangan regional, pengaturan pertukaran bilateral, dan perjanjian perdagangan multilateral. Koordinasi kebijakan dengan negara-negara lain dapat membantu mengurangi dampak guncangan sistemik dan mencegah devaluasi kompetitif atau perang dagang.
Pengembangan Sistem Peringatan Dini: Pembentukan sistem pemantauan dan pengawasan yang komprehensif untuk mengidentifikasi potensi guncangan eksternal dan kerentanan domestik. Sistem peringatan dini yang efektif dapat memberikan waktu yang cukup untuk penerapan kebijakan preemptive.
Investasi dalam Sumber Daya Manusia dan Inovasi: Pengembangan sumber daya manusia dan kapasitas inovasi dapat meningkatkan adaptasi ekonomi terhadap perubahan global. Transformasi digital dan ekonomi hijau dapat memberikan sumber pertumbuhan baru yang lebih tangguh terhadap guncangan tradisional.
Implementasi saran-saran ini memerlukan komitmen jangka panjang dan koordinasi antar berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, bank sentral, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Pemantauan dan evaluasi yang berkelanjutan juga diperlukan untuk memastikan efektivitas strategi yang diterapkan dan melakukan penyesuaian sesuai dengan perkembangan kondisi global.
Daftar Pustaka
Aizenman, J., & Hutchison, MM (2012). Tekanan pasar valuta asing dan penyerapan oleh cadangan internasional: Pasar negara berkembang dan ketakutan akan hilangnya cadangan selama krisis 2008–09. Jurnal Keuangan dan Uang Internasional, 31(5), 1076-1091.
Calvo, GA, Leiderman, L., & Reinhart, CM (1996). Arus masuk modal ke negara-negara berkembang pada tahun 1990-an. Jurnal Perspektif Ekonomi, 10(2), 123-139.
Eichengreen, B., & Rose, AK (2014). Kontrol modal di abad ke-21. Jurnal Keuangan dan Uang Internasional, 48, 1-16.
Forbes, KJ, & Warnock, FE (2012). Gelombang aliran modal: lonjakan, penghentian, pelarian, dan pengurangan tenaga kerja. Jurnal Ekonomi Internasional, 88(2), 235-251.
Goldstein, M., & Turner, P. (2004). Pengendalian ketidaksesuaian mata uang di pasar negara berkembang. Institut Ekonomi Internasional.
Lane, PR, & Milesi-Ferretti, GM (2018). Kekayaan eksternal suatu negara ditinjau kembali: Integrasi keuangan internasional setelah krisis keuangan global. Tinjauan Ekonomi IMF, 66(1), 189-222.
Obstfeld, M., Shambaugh, JC, & Taylor, AM (2009). Ketidakstabilan keuangan, cadangan, dan jalur swap bank sentral di tengah kepanikan tahun 2008. American Economic Review, 99(2), 480-486.
Pratomo, DS, & Rahayu, S. (2020). Dampak pandemi COVID-19 terhadap stabilitas makroekonomi Indonesia: Analisis kerentanan dan ketahanan. Jurnal Kebijakan Ekonomi, 16(2), 178-195.
Reinhart, CM, & Rogoff, KS (2009). Kali ini berbeda: Delapan abad kebodohan finansial. Princeton University Press.
Rey, H. (2013). Dilema bukan trilema: Siklus keuangan global dan independensi kebijakan moneter. Prosiding Simposium Kebijakan Ekonomi Jackson Hole, Federal Reserve Bank of Kansas City, 285-333.
Susanto, H., Wijaya, M., & Hartono, B. (2018). Penentuan kerentanan eksternal ekonomi Indonesia: Analisis empiris periode 2000-2017. Jurnal Ekonomi Pembangunan Indonesia, 19(4), 412-428.
Tille, C., & van Wincoop, E. (2010). Arus modal internasional. Jurnal Ekonomi Internasional, 80(2), 157-175.
Wardhana, A., & Simorangkir, I. (2019). Analisis kerentanan ekonomi Indonesia terhadap guncangan eksternal: Pembelajaran dari krisis keuangan global. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 65(3), 289-305.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.