Abstrak
Selama 12
tahun terakhir, harga minyak goreng sawit Indonesia cenderung meningkat.
Peningkatan harga minyak goreng sawit didorong oleh permintaan atau
penawarannya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan, penawaran, dan harga minyak goreng sawit Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data dari 1990 hingga 2014. Model persamaan simultan digunakan untuk menganalisis permintaan dan penawaran minyak goreng sawit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan dan populasi penduduk berpengaruh signifikan terhadap permintaan minyak goreng sawit. Hal tersebut berimplikasi bahwa minyak goreng sawit dapat dikategorikan sebagai barang normal dan kebutuhan pokok di Indonesia. Sementara harga minyak goreng sawit, produksi CPO, dan harga riil CPO Domestik berpengaruh signifikan terhadap penawaran minyak goreng sawit. Harga minyak goreng sawit Indonesia tidak dipengaruhi secara signifikan oleh jumlah permintaan dan penawarannya secara terpi
sah.
Penelitian ini menggunakan data dari 1990 hingga 2014. Model persamaan simultan digunakan untuk menganalisis permintaan dan penawaran minyak goreng sawit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan dan populasi penduduk berpengaruh signifikan terhadap permintaan minyak goreng sawit. Hal tersebut berimplikasi bahwa minyak goreng sawit dapat dikategorikan sebagai barang normal dan kebutuhan pokok di Indonesia. Sementara harga minyak goreng sawit, produksi CPO, dan harga riil CPO Domestik berpengaruh signifikan terhadap penawaran minyak goreng sawit. Harga minyak goreng sawit Indonesia tidak dipengaruhi secara signifikan oleh jumlah permintaan dan penawarannya secara terpi
sah.
Kata kunci
Barang Normal, Minyak Goreng Sawit, Persamaan
Simultan
Pendahuluan
Harga minyak
goreng sawit sejak tahun 2001 telah mengalami peningkatan dengan rata – rata
pertumbuhan sebesar 10.07 persen hingga tahun 2012 (Badan Ketahanan Pangan
2014). Kenaikan tersebut dapat menurunkan daya beli masyarakat terhadap minyak
goreng sawit. Padahal konsumsi minyak goreng sawit di Indonesia menyerap
rata-rata pangsa pasar sebesar 86.64 persen pada tahun 2002 sampai 2008
dibanding minyak goreng jenis lainnya (Sipayung dan Purba 2015).
Hal tersebut
menyebabkan minyak goreng sawit dapat dikategorikan sebagai komoditas yang
strategis, karena kelangkaan minyak goreng sawit dapat menimbulkan dampak
ekonomis cukup berarti bagi perekonomian nasional. Stabilitas harga minyak
goreng sawit dapat terjaga apabila ketersediannya di pasar domestik dapat
terjamin. Peningkatan produksi minyak goreng sawit harus dilakukan seiring
dengan semakin tingginya permintaan minyak goreng sawit. Salah satu penyebab
semakin tingginya permintaan minyak goreng sawit adalah jumlah penduduk
Indonesia yang telah mencapai 237 641 326 jiwa pada tahun 2010 dengan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1.40 persen per tahun dari tahun 2010 sampai 2014
(BPS 2015). Peningkatan permintaan terhadap minyak goreng sawit juga dapat
terlihat dengan meningkatnya konsumsi minyak goreng sawit dari 6.6 menjadi 8.1
kg/kapita/tahun pada periode tahun 2009 sampai 2013 (Badan Ketahanan Pangan
2014).
Peningkatan
produksi minyak goreng sawit dapat dilakukan dengan pengembangan industri
minyak goreng sawit di Indonesia. Jumlah perusahaan pelaku industri minyak
goreng sawit telah meningkat dari 43 unit usaha tahun 2006 menjadi 57 unit
usaha pada tahun 2011. Industri minyak goreng sawit tersebut tersebar di enam
provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat
dan Jawa Timur. Peningkatan jumlah pelaku industri tersebut telah mampu
meningkatkan produksi minyak goreng sawit Indonesia hingga mencapai 4 883 000
ton pada tahun 2013 (Badan Ketahanan Pangan 2014). Kapasitas produksi minyak
goreng sawit di Indonesia paling tinggi berada di Provinsi Riau dan Provinsi
Sumatera Utara dengan produksi minyak goreng sawit masing- masing sebesar 21.46
persen dan 19.94 persen dari produksi minyak goreng sawit nasional (Sipayung
dan Purba 2015).
ISI
Harga suatu komoditas berhubungan negatif dengan jumlah
permintaan komoditas tersebut. Pada komoditas minyak goreng sawit, hubungan
negatif antara harga dan jumlah permintaannya dapat terlihat dari tanda negatif
koefisiennya yaitu -0.041. Namun secara statistik, harga minyak goreng sawit
tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah permintaan minyak goreng sawit
Indonesia. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian (Ratri 2004) yang
menyebutkan bahwa harga minyak goreng kelapa berpengaruh signifikan terhadap
permintaan minyak goreng kelapa di Indonesia. Hasil perhitungan elastisitas
menunjukkan bahwa elastisitas harga minyak goreng sawit sangat inelastis dalam
jangka pendek dan jangka panjang.
Perubahan harga yang terjadi dalam jangka pendek hanya
menurunkan permintaannya sebesar 0.03 persen, sedangkan dalam jangka panjang
sebesar 0.04 persen. Sifat inelastis tersebut sesuai dengan karakteristik
kebutuhan pokok dimana perubahan harga yang terjadi tidak akan berpengaruh banyak
pada jumlah permintaannya.
Minyak goreng kelapa merupakan salah satu produk substitusi
minyak goring sawit di Indonesia. Minyak goreng kelapa yang bersifat sebagai
produk substitusi dapat dibuktikan dengan tanda koefisien positif pada
koefisiennya yang bernilai 0.351. Namun berdasarkan hasil uji statistik
diketahui bahwa variabel harga minyak goreng kelapa tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap permintaan minyak goreng sawit Indonesia. Dengan demikian
dapat dikatakan minyak goreng kelapa belum mampu menggantikan posisi minyak goreng
sawit sebagai kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Posisi minyak goreng kelapa sebagai kebutuhan masyarakat
Indonesia memang sudah mampu digantikan oleh minyak goreng sawit karena
perkembangan yang pesat pada industri minyak goreng sawit sementara terjadi
penurunan produksi minyak goreng kelapa (Ratri 2004). Jika dibandingkan dengan
hasil penelitian (Chuangchid et.al 2012) untuk 19 cakupan internasional
diketahui bahwa minyak kelapa sawit memiliki produk substitusi yang kuat yaitu
minyak kedelai. Faktor yang mempengaruhi permintaan minyak goreng sawit secara
signifikan adalah pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita berpengaruh
positif terhadap permintaan minyak goreng sawit Indonesia yang dibuktikan
dengan nilai koefisien 0.532. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian (Ratri
2004) yang menyatakan bahwa pendapatan berpengaruh positif terhadap permintaan
minyak goreng kelapa.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka minyak
goreng sawit dapat dikategorikan sebagai barang normal sehingga apabila
pemerintah menginginkan peningkatan pendapatan perkapita Indonesia maka akan
menyebabkan permintaan terhadap minyak goreng sawit yang semakin tinggi.
Permintaan minyak goreng sawit juga akan semakin tinggi apabila pemerintah
tidak mampu menekan laju pertumbuhan penduduk karena minyak goreng sawit
merupakan bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. 23 Penawaran minyak
goreng sawit dipengaruhi oleh faktor – faktor terkait input produksi yaitu
produksi CPO, dan harga riil CPO domestik. Dengan demikian untuk menjamin
ketersediaan minyak goreng sawit di pasar, pemerintah harus membuat kebijakan
terkait dengan penyediaan CPO domestik bagi industri minyak goreng sawit. Harga
minyak goreng sawit juga mempengaruhi tingkat penawarannya karena harga
merupakan indikator bagi perusahaan untuk berproduksi lebih banyak saat harga
tinggi. Namun pada pasar minyak goreng sawit tidak terjadi keseimbangan
permintaan dan penawarannya sehingga harga yang terbentuk bukanlah harga yang
optimal.
Daftar Pustaka
Chuangchid K, Wiboonpongse A, Sriboonchitta S, Chaiboonsri
C. 2012. Factors Affecting Palm Oil Price Based on Extremes Value Approach.
International Journal of Marketing Studies. 4(6): 54-65.
Ratri CD. 2004. Analisis Permintaan dan Penawaran Industri
Minyak Goreng Kelapa di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sipayung T, Purba J. 2015. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit.
Bogor (ID): PASPI.
Tarigan W, Lubis Z, Zen Z. 2013. Analisis Permintaan dan
Penawaran Beras di Provinsi Sumatera Utara.
Jurnal Agribisnis Sumatera Utara. 1(1): 70-81. Zuhriyah A.
2010. Analisis Permintaan dan Penawaran Susu Segar di Jawa Timur. EMBRYO. 7(2):
130-137.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.