.

Minggu, 18 Maret 2018

Permintaan Minyak Goreng di Indonesia

Oleh : Daffa Aziz Tandjung (@C22-DAFFA)

Abstrak
Selama 12 tahun terakhir, harga minyak goreng sawit Indonesia cenderung meningkat. Peningkatan harga minyak goreng sawit didorong oleh permintaan atau penawarannya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan, penawaran, dan harga minyak goreng sawit Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data dari 1990 hingga 2014. Model persamaan simultan digunakan untuk menganalisis permintaan dan penawaran minyak goreng sawit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan dan populasi penduduk berpengaruh signifikan terhadap permintaan minyak goreng sawit. Hal tersebut berimplikasi bahwa minyak goreng sawit dapat dikategorikan sebagai barang normal dan kebutuhan pokok di Indonesia. Sementara harga minyak goreng sawit, produksi CPO, dan harga riil CPO Domestik berpengaruh signifikan terhadap penawaran minyak goreng sawit. Harga minyak goreng sawit Indonesia tidak dipengaruhi secara signifikan oleh jumlah permintaan dan penawarannya secara terpi
sah.

Kata kunci
 Barang Normal, Minyak Goreng Sawit, Persamaan Simultan

Pendahuluan
Harga minyak goreng sawit sejak tahun 2001 telah mengalami peningkatan dengan rata – rata pertumbuhan sebesar 10.07 persen hingga tahun 2012 (Badan Ketahanan Pangan 2014). Kenaikan tersebut dapat menurunkan daya beli masyarakat terhadap minyak goreng sawit. Padahal konsumsi minyak goreng sawit di Indonesia menyerap rata-rata pangsa pasar sebesar 86.64 persen pada tahun 2002 sampai 2008 dibanding minyak goreng jenis lainnya (Sipayung dan Purba 2015).
Hal tersebut menyebabkan minyak goreng sawit dapat dikategorikan sebagai komoditas yang strategis, karena kelangkaan minyak goreng sawit dapat menimbulkan dampak ekonomis cukup berarti bagi perekonomian nasional. Stabilitas harga minyak goreng sawit dapat terjaga apabila ketersediannya di pasar domestik dapat terjamin. Peningkatan produksi minyak goreng sawit harus dilakukan seiring dengan semakin tingginya permintaan minyak goreng sawit. Salah satu penyebab semakin tingginya permintaan minyak goreng sawit adalah jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai 237 641 326 jiwa pada tahun 2010 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.40 persen per tahun dari tahun 2010 sampai 2014 (BPS 2015). Peningkatan permintaan terhadap minyak goreng sawit juga dapat terlihat dengan meningkatnya konsumsi minyak goreng sawit dari 6.6 menjadi 8.1 kg/kapita/tahun pada periode tahun 2009 sampai 2013 (Badan Ketahanan Pangan 2014).
Peningkatan produksi minyak goreng sawit dapat dilakukan dengan pengembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia. Jumlah perusahaan pelaku industri minyak goreng sawit telah meningkat dari 43 unit usaha tahun 2006 menjadi 57 unit usaha pada tahun 2011. Industri minyak goreng sawit tersebut tersebar di enam provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Peningkatan jumlah pelaku industri tersebut telah mampu meningkatkan produksi minyak goreng sawit Indonesia hingga mencapai 4 883 000 ton pada tahun 2013 (Badan Ketahanan Pangan 2014). Kapasitas produksi minyak goreng sawit di Indonesia paling tinggi berada di Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Utara dengan produksi minyak goreng sawit masing- masing sebesar 21.46 persen dan 19.94 persen dari produksi minyak goreng sawit nasional (Sipayung dan Purba 2015).
ISI
Harga suatu komoditas berhubungan negatif dengan jumlah permintaan komoditas tersebut. Pada komoditas minyak goreng sawit, hubungan negatif antara harga dan jumlah permintaannya dapat terlihat dari tanda negatif koefisiennya yaitu -0.041. Namun secara statistik, harga minyak goreng sawit tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah permintaan minyak goreng sawit Indonesia. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian (Ratri 2004) yang menyebutkan bahwa harga minyak goreng kelapa berpengaruh signifikan terhadap permintaan minyak goreng kelapa di Indonesia. Hasil perhitungan elastisitas menunjukkan bahwa elastisitas harga minyak goreng sawit sangat inelastis dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Perubahan harga yang terjadi dalam jangka pendek hanya menurunkan permintaannya sebesar 0.03 persen, sedangkan dalam jangka panjang sebesar 0.04 persen. Sifat inelastis tersebut sesuai dengan karakteristik kebutuhan pokok dimana perubahan harga yang terjadi tidak akan berpengaruh banyak pada jumlah permintaannya.

Minyak goreng kelapa merupakan salah satu produk substitusi minyak goring sawit di Indonesia. Minyak goreng kelapa yang bersifat sebagai produk substitusi dapat dibuktikan dengan tanda koefisien positif pada koefisiennya yang bernilai 0.351. Namun berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa variabel harga minyak goreng kelapa tidak berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan minyak goreng sawit Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan minyak goreng kelapa belum mampu menggantikan posisi minyak goreng sawit sebagai kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Posisi minyak goreng kelapa sebagai kebutuhan masyarakat Indonesia memang sudah mampu digantikan oleh minyak goreng sawit karena perkembangan yang pesat pada industri minyak goreng sawit sementara terjadi penurunan produksi minyak goreng kelapa (Ratri 2004). Jika dibandingkan dengan hasil penelitian (Chuangchid et.al 2012) untuk 19 cakupan internasional diketahui bahwa minyak kelapa sawit memiliki produk substitusi yang kuat yaitu minyak kedelai. Faktor yang mempengaruhi permintaan minyak goreng sawit secara signifikan adalah pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita berpengaruh positif terhadap permintaan minyak goreng sawit Indonesia yang dibuktikan dengan nilai koefisien 0.532. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian (Ratri 2004) yang menyatakan bahwa pendapatan berpengaruh positif terhadap permintaan minyak goreng kelapa.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka minyak goreng sawit dapat dikategorikan sebagai barang normal sehingga apabila pemerintah menginginkan peningkatan pendapatan perkapita Indonesia maka akan menyebabkan permintaan terhadap minyak goreng sawit yang semakin tinggi. Permintaan minyak goreng sawit juga akan semakin tinggi apabila pemerintah tidak mampu menekan laju pertumbuhan penduduk karena minyak goreng sawit merupakan bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. 23 Penawaran minyak goreng sawit dipengaruhi oleh faktor – faktor terkait input produksi yaitu produksi CPO, dan harga riil CPO domestik. Dengan demikian untuk menjamin ketersediaan minyak goreng sawit di pasar, pemerintah harus membuat kebijakan terkait dengan penyediaan CPO domestik bagi industri minyak goreng sawit. Harga minyak goreng sawit juga mempengaruhi tingkat penawarannya karena harga merupakan indikator bagi perusahaan untuk berproduksi lebih banyak saat harga tinggi. Namun pada pasar minyak goreng sawit tidak terjadi keseimbangan permintaan dan penawarannya sehingga harga yang terbentuk bukanlah harga yang optimal.
Daftar Pustaka
Chuangchid K, Wiboonpongse A, Sriboonchitta S, Chaiboonsri C. 2012. Factors Affecting Palm Oil Price Based on Extremes Value Approach. International Journal of Marketing Studies. 4(6): 54-65.
Ratri CD. 2004. Analisis Permintaan dan Penawaran Industri Minyak Goreng Kelapa di Indonesia [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sipayung T, Purba J. 2015. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. Bogor (ID): PASPI.
Tarigan W, Lubis Z, Zen Z. 2013. Analisis Permintaan dan Penawaran Beras di Provinsi Sumatera Utara.
Jurnal Agribisnis Sumatera Utara. 1(1): 70-81. Zuhriyah A. 2010. Analisis Permintaan dan Penawaran Susu Segar di Jawa Timur. EMBRYO. 7(2): 130-137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.