Perekonomian Sulsel triwulan IV 2016 dan keseluruhan 2016 masing-masing tumbuh 7,60% (yoy) dan 7,41% (yoy), meningkat dibandingkan pertumbuhan triwulan III 2016 dan tahun 2015 yang masing-masing tercatat 6,78% (yoy) dan 7,17% (yoy). Secara lapangan usaha, meningkatnya pertumbuhan disebabkan oleh kinerja usaha primer dan tersier. Pada sektor primer didorong oleh meningkatnya kinerja lapangan usaha pertanian, perikanan dan kehutanan, sementara pada usaha tersier yaitu usaha Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Informasi dan Komunikasi, dan Jasa Keuangan dan Asuransi. Di sisi pengeluaran, meningkatnya pertumbuhan disebabkan oleh masih kuatnya kinerja konsumsi rumah tangga dan investasi. Sementara itu, kinerja ekspor mengalami perbaikan meski masih dalam fase kontraksi akibat belum pulihnya pasar global. Pada triwulan laporan, kinerja perbankan secara umum dalam kondisi baik, sementara transaksi yang tercatat pada sistem pembayaran menunjukkan peningkatan akibat aktivitas masyarakat yang meningkat pada Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) natal dan tahun baru, serta libur sekolah. Pada triwulan I 2017, pertumbuhan ekonomi Sulsel kami perkirakan sedikit melambat, dikarenakan terdapat risiko di usaha pertanian dan perdagangan, sementara secara keseluruhan 2017 kami perkirakan pertumbuhan ekonomi Sulsel meningkat dikarenakan terdapat potensi pada usaha pertanian, dan pertambangan apabila terdapat peningkatan harga komoditas internasional, diikuti beroperasinya industri nikel yang lebih optimal. Sementara dari sisi pengeluaran, perlambatan pada triwulan I 2017 berasal dari kinerja ekspor yang belum sepenuhnya membaik. Pada keseluruhan 2017, pertumbuhan yang meningkat diperkirakan berasal dari konsumsi pemerintah dan investasi dikarenakan terdapat potensi perbaikan pendapatan/pengeluaran pemerintah.
Tekanan inflasi pada tahun 2016 menurun. Pada akhir 2016 inflasi Sulsel tercatat 2,94% (yoy), berada di bawah rentang sasaran inflasi nasional 4%±1%. Penurunan inflasi Sulsel terjadi dikarenakan menurunnya tekanan harga pada kelompok bahan makanan, makanan jadi, sandang, dan terjadinya deflasi yang lebih dalam pada kelompok transpor. Menurunnya tekanan harga pada kelompok bahan makanan disebabkan oleh panen yang terjadi pada triwulan IV 2016 di sejumlah daerah seperti Kabupaten Soppeng, Sidrap dan Gowa, serta kondisi stok beras milik Bulog yang juga cukup memadai dengan ketahanan hingga triwulan II 2017. Selain itu, terjaganya harga BBM juga turut berkontribusi dalam kestabilan inflasi. Kunci keberhasilan dalam mengendalikan inflasi di Sulsel tersebut tentunya tidak lepas dari peran serta, komunikasi, dan koordinasi yang berjalan baik diantara anggota Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), terutama dalam kaitannya dengan upaya menjaga ketersediaan pasokan dan kelancaran arus distribusi bahan pangan ke berbagai daerah di Sulsel. Namun demikian, pada triwulan I 2017 tekanan inflasi diperkirakan dalam tren meningkat. Indikasi ke arah tersebut ditandai dengan meningkatnya inflasi pada awal triwulan I 2017. Selain itu, peningkatan kebijakan pemerintah pusat terkait dengan pengalihan subsidi listrik pada daya 900 VA di bulan Januari, Maret, dan Mei, serta kenaikan tarif dan biaya pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Surat Tanda Coba Kendaraan (STCK) yang efektif naik per tanggal 6 Januari 2017 turut mendorong inflasi pada awal triwulan I 2017.
Perekonomian Sulsel pada triwulan II 2017 diprakirakan tumbuh pada kisaran 7,5% - 7,9% (yoy). Sementara secara keseluruhan 2017 akan tumbuh di kisaran 7,5%-7,9% (yoy), yang berarti berpotensi lebih tinggi dari pencapaian 2016 yang tumbuh 7,41% (yoy). Dari sisi permintaan, perekonomian Sulsel diperkirakan masih akan ditopang oleh konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi PMTB. Sementara dari sisi lapangan usaha, diperkirakan masih ditopang dari lapangan usaha Industri Pengolahan, Konstruksi, Transportasi, Penyediaan Akomodasi, Real Estate, Jasa Perusahaan, Administrasi Pemerintahan, Jasa Pendidikan, dan Jasa Kesehatan. Faktor-faktor pendorong adalah konsumsi/daya beli yang semakin baik, perbaikan pendapatan/pengeluaran pemerintah, peningkatan harga komoditas internasional, diversifikasi ekspor ke Amerika/Eropa, beroperasinya industri nikel yang lebih optimal, pembangunan infrastruktur, dan pembangunan industri pengolahan ikan.
Tekanan harga di triwulan II 2017 dan 2017 diperkirakan berpotensi berada di atas kisaran sasaran inflasi nasional 4,0%±1,0%. Ada pun faktor risiko yang masih akan menjadi tekanan inflasi 2017 adalah tren kenaikan harga minyak dunia, serta kebijakan kenaikan harga yang diatur pemerintah yang dilakukan di pertengahan tahun 2017. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya yang lebih kuat untuk menjaga oleh ketersediaan/distribusi pangan berjalan optimal, serta dukungan TPID di seluruh kabupaten/kota secara optimal, agar pergerakan inflasi dapat dijaga dalam kisaran 4,0±1,0%.
Untuk mendorong Sulsel sebagai Pilar Utama Pembangunan Nasional dan Simpul Untuk mendorong Sulsel sebagai Pilar Utama Pembangunan Nasional dan Simpul Jejaring Akselerasi Kesejahteraan, berikut ini beberapa kebijakan yang dapat disarankan kepada pemerintah daerah: (a) Meningkatkan kapasitas produksi pertanian; (b) Meningkatkan nilai tambah komoditas unggulan di Sulsel yang mayoritas berbasis sumber daya alam; (c) Mengoptimalkan besarnya potensi investasi di Sulsel, khususnya melalui Penanaman Modal Asing (PMA), melalui peningkatan daya tarik investasi di Sulsel; (d) Merealisasikan pembangunan infrastruktur sesuai dengan yang telah direncanakan; (e) Mencari alternatif sumber pembiayaan infrastruktur yang tidak bersumber dari APBN/APBD, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui skema Pembiayaan Infrastruktur Non Anggaran Pemerintah (PINA); (f) Merealisasikan anggaran belanja di awal tahun (Semester I) dan mengalokasikan Dana Desa secara tepat sasaran dan tepat jadwal, sehingga dapat memberikan stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi lebih awal dan lebih berkelanjutan; (g) Melakukan diversifikasi tujuan ekspor; (h) Mempererat kerjasama antar provinsi di Sulawesi, dengan mengoptimalkan Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS).
Sementara itu, rekomendasi kebijakan yang dapat dirumuskan untuk pengendalian harga terutama diarahkan pada komoditas penyumbang inflasi terbesar, sebagai berikut: (a) Perlunya menyusun program kerja yang lebih fokus pada pengendalian komoditas volatile food sebagaimana yang sudah dicantumkan dalam Roadmap Pengendalian Inflasi Provinsi Sulsel; (b) Perlunya menyusun Roadmap Pengendalian Inflasi di tiap zona dengan mengacu kepada Roadmap Pengendalian Inflasi Provinsi Sulsel; (c) Penguatan kerjasama antar daerah perlu semakin ditingkatkan yang didasarkan pada data Sistem Informasi Harga Pangan (SIGAP) di kabupaten/kota; (d) Mengoptimalkan kewenangan Pemerintah Provinsi dalam menetapkan tarif yang ditentukan oleh Gubernur seperti tarif angkutan dalam kota dan harga eceran tertinggi (HET) LPG subsidi (3 kg); (e) Untuk mengurangi dampak lanjutan (second round effect) yang dapat mengakibatkan inflasi 2017 naik lebih tinggi dari perkiraan, maka perlu dipastikan ketersediaan dan keberlangsungan tenaga listrik untuk rumah tangga, ketersediaan dan kelancaran distribusi BBM dan LPG bersubsidi.
Masalah Konektivitas Hambat Akselerasi Ekonomi Sulsel
Bisnis.com,
MAKASSAR -- Konektivitas antardaerah di Sulawesi Selatan yang cenderung masih
terbatas menjadi pokok permasalahan utama dalam akselerasi perekonomian di
provinsi ini.
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Sulsel, Wiwiek S. Widayat mengemukakan waktu tempuh melalui jalur darat antardaerah di Sulsel menjadi segmen yang kerap menjadi pemicu utama dalam permasalahan logistik dan berdampak pada perekonomian secara luas.
Menurutnya, kondisi tersebut berdasarkan hasil riset growth diagnostic yang dilakukan bank sentral kurun waktu 2015 hingga 2016 lalu menunjukkan jika konektivitas antardaerah yang masih terbatas teridentifikasi sebagai permasalah pokok dalam perekonomian Sulsel.
"Konektivitas darat maupun laut memiliki peran strategis, akses ke daerah potensial yang selama ini belum terjangkau jadi kunci, karena efeknya tentu memungkinkan investasi tumbuh lebih produktif," katanya, Senin (6/3/2017).
Wiwiek menguraikan, jika pemerintah mampu melakukann perbaikan 50% infrastruktur jalan berklasifikasi nasional, provinsi maupun kabupaten/kota secara simultan di Sulsel, diproyeksikan bakal mendongkrak efektivitas dengan pemangkasa ongkos logistik sebesar 9,97%.
Selanjutnya, lanjut dia, kondisi tersebut bisa menjadi katalis dalam mendorong daya saing produk pertanian dan industri yang diperdagangkan antar pulau maupun ekspor serta berdampak pula pada efisiensi transportasi.
Dari hasil perhitungan, diperoleh hasil bahwa perbaikan kualitas jalan berpotensi menambah rata-rata pertumbuhan PDRB terhadap baseline sebesar 0,711%, dengan tambahan pertumbuhan aggregate employment sebesar 0,017%.
Selain itu, realisasi proyek Kereta Api Lintas Makassar-Parepare diperkirakan pula akan menurunkan biaya karena terjadinya switching cost dari jalan ke kereta api dengan asumsi yang digunakan yaitu terdapatnya penyerapan dari pengguna jalan kepada kereta api sebesar 13,5%.
Selanjutnya permasalahan perekonomian Sulsel lainnya yakni tingkat inovasi sektor pertanian sebagai sektor unggulan Sulsel yang masih sangat rendah memicu pertumbuhan pada sektor ini ikut mengalami tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
"Terdapat pula kualitas pendidikan yang masih rendah, ditandai oleh rata-rata lama sekolah serta tingkat pendidikan tenaga kerja yang sebagian besar merupakan lulusan SD-SMP serta infrastruktur distribusi listrik yang tidak mencukupi hingga tahun 2020. Seluruh hal ini membuat akselerasi perekonomian Sulsel jadi terkendala," papar Wiwiek.
Sekadar diketahui, sepanjang tahun lalu ekonomi Sulsel mampu tumbuh sebesar 7,41% yang ditopang kinerja lapangan usaha sektot energi, pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang, jasa keuangan dan asuransi, penyediaan akomodasi dan makan minum serta sektor lainnya.
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Sulsel, Wiwiek S. Widayat mengemukakan waktu tempuh melalui jalur darat antardaerah di Sulsel menjadi segmen yang kerap menjadi pemicu utama dalam permasalahan logistik dan berdampak pada perekonomian secara luas.
Menurutnya, kondisi tersebut berdasarkan hasil riset growth diagnostic yang dilakukan bank sentral kurun waktu 2015 hingga 2016 lalu menunjukkan jika konektivitas antardaerah yang masih terbatas teridentifikasi sebagai permasalah pokok dalam perekonomian Sulsel.
"Konektivitas darat maupun laut memiliki peran strategis, akses ke daerah potensial yang selama ini belum terjangkau jadi kunci, karena efeknya tentu memungkinkan investasi tumbuh lebih produktif," katanya, Senin (6/3/2017).
Wiwiek menguraikan, jika pemerintah mampu melakukann perbaikan 50% infrastruktur jalan berklasifikasi nasional, provinsi maupun kabupaten/kota secara simultan di Sulsel, diproyeksikan bakal mendongkrak efektivitas dengan pemangkasa ongkos logistik sebesar 9,97%.
Selanjutnya, lanjut dia, kondisi tersebut bisa menjadi katalis dalam mendorong daya saing produk pertanian dan industri yang diperdagangkan antar pulau maupun ekspor serta berdampak pula pada efisiensi transportasi.
Dari hasil perhitungan, diperoleh hasil bahwa perbaikan kualitas jalan berpotensi menambah rata-rata pertumbuhan PDRB terhadap baseline sebesar 0,711%, dengan tambahan pertumbuhan aggregate employment sebesar 0,017%.
Selain itu, realisasi proyek Kereta Api Lintas Makassar-Parepare diperkirakan pula akan menurunkan biaya karena terjadinya switching cost dari jalan ke kereta api dengan asumsi yang digunakan yaitu terdapatnya penyerapan dari pengguna jalan kepada kereta api sebesar 13,5%.
Selanjutnya permasalahan perekonomian Sulsel lainnya yakni tingkat inovasi sektor pertanian sebagai sektor unggulan Sulsel yang masih sangat rendah memicu pertumbuhan pada sektor ini ikut mengalami tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
"Terdapat pula kualitas pendidikan yang masih rendah, ditandai oleh rata-rata lama sekolah serta tingkat pendidikan tenaga kerja yang sebagian besar merupakan lulusan SD-SMP serta infrastruktur distribusi listrik yang tidak mencukupi hingga tahun 2020. Seluruh hal ini membuat akselerasi perekonomian Sulsel jadi terkendala," papar Wiwiek.
Sekadar diketahui, sepanjang tahun lalu ekonomi Sulsel mampu tumbuh sebesar 7,41% yang ditopang kinerja lapangan usaha sektot energi, pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang, jasa keuangan dan asuransi, penyediaan akomodasi dan makan minum serta sektor lainnya.
Tiga Sektor Penopang Ekonomi Sulsel di 2017
RAKYATKU.COM,MAKASSAR - Sejumlah praktisi, pakar ekonomi dan pemerintah berkumpul di four point Hotel by Sheraton Makassar, Kamis (12/1/2016). Mereka membahas tentang ekonomi outlook Makassar dan Sulsel ke depan. Semua pihak optimis perekonomian Indonesia dilihat dari sudut pandang Sulsel dan Makassar bakal membaik. Sektor Pertanian, Pariwisata dan Infrastruktur diyakini akan menjadi motor penggerak utama ekonomi Sulawesi Selatan dalam beberapa tahun kedepan.Pasalnya kebutuhan akan tiga hal tersebut masih sangat tinggi sedangkan pasokannya masih terbatas. Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and finance (Indef) Aviliani, memprediksi kondisi ekonomi secara nasional pada tahun 2017 ini masih akan dipengaruhi ekonomi global. "Artinya, ekonomi Indonesia masih bergantung pada pengaruh resiko kenaikan The Fed Rate. Turunnya harga minyak dunia, merosotnya harga komoditas, perlambatan pertumbuhan China serta belum pulihnya kondisi perekonomian di kawasan eropa," katanya. Melihat pertumbuhan ekonomi di Sulsel, Aviliani berpendapat provinsi yang dipimpin Syahrul Yasin Limpo ini bakal dapat keluar dari tekanan ekonomi tersebut. Jika sektor infrastruktur dan pertanian, terutama komoditi unggulan seperti pangan terus didorong dan dimaksimalkan.
"Dalam era pasar bebas saat ini pemerintah daerah setempat ditantang meningkatkan kualitas dan kuantitas produk hilir di sektor pangan sehingga mampu bersaing dengan produk negara lain," katanya.
Sementara itu, lanjut dia, di bidang pariwisata, perlu juga digarap secara optimal karena potensinya cukup banyak dan mampu menghasilkan devisa yang besar untuk medorong pertumbuhan ekonomi di Sulsel.
"Setiap pemerintah daerah di Sulsel sebaiknya menerapkan dan meningkatkan peran Kerjasama Antar Daerah (KAD)," katanya.
Di tempat yang sama, Wakil Gubernur Sulsel, Agus Arifin Nu'mang meminta para pengusaha yang ada di daerah setempat untuk go internasional. Pihaknya mendorong mereka membuka peluang dimana saja.
Di sisi lain, Agus menyampaikan pertumbuhan ekonomi Sulsel beberapa tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Dimana tumbuh 7,4 persen atau masih berada diatas rata-rata nasional. Hal ini disebabkan karena sebagian besar industri yang bergerak di Sulsel bergerak di bidang manufaktur.
"Selain itu terjaganya kondisi keamanan dan ketentram diyakini membuat aktivitas ekonomi di Sulsel berjalan dengan baik," pungkasnya.
Sementara itu, Walikota Makassar Danny Pomanto mendorong tumbuhnya iklim usaha di daerah itu dengan menciptakan peluang bagi pengusaha kecil dan menengah melalui Badan Usaha Lorong (Bulo). "Saya menyakini jika BULo yang telah dibentuk ini bisa mengendalikan inflasi di kota ini agar tidak melonjak drastis," katanya.
5 Tahun Terakhir, Inflasi di Sulsel 2016
Bisnis.com, MAKASSAR - Laju inflasi Sulawesi Selatan sepanjang 2016 dinilai paling terkendali dalam kurun lima tahun terakhir.Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel Nursam Salam mengemukakan inflasi secara kumulatif pada 2016 yang berada pada level 2,94% juga menjadi indikator langkah pengendalian berjalan secara efektif.
"Perkembangannya jauh lebih baik tahun lalu, langkah pengendalian lebih baik, meski dari sisi indeks harga ada peningkatan," katanya, Selasa (2/1/2017).
Menurutnya, tekanan inflasi yang terkendali dibandingkan dengan tahun- tahun sebelumnya itu juga ditopang ketersediaan pasokan hingga kelancaran distribusi bahan pangan pembentuk inflasi.
Selain itu, penguatan sinergitas Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) melalui serangkaian langkah strategis ikut mendorong tekanan inflasi Sulsel paling rendah dalam lima tahun terakhir.
Kondisi tersebut mengikuti capaian secara nasional yang mencatatkan laju inflasi terendah sejak 2010 silam.
Adapun pada akhir tahun, laju inflasi Sulsel sebesar 0,3% seiring dengan bergairahnya daya beli masyarakat yang dipicu perayaan Natal dan Tahun Baru serta peringatan Maulid pada Desember 2016.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Disperindag Sulsel Hadi Basalamah mengemukakan fokus pengendalian inflasi dilakukan pada rantai pasok komoditas pertanian yang dilakukan simultan dengan peningkatan kapasitas produksi.
Menurutnya, pelibatan aktif seluruh pihak termasuk distributor swasta juga dilakukan Pemprov Sulsel pada tahun ini sehingga pengendalian inflasi berjalan lebih optimal.
"Tidak hanya dengan Bulog, tetapi juga dengan swasta, pemantauan secara berkala dilakukan ke gudang-gudang agar menekan potensi penimbunan yang bisa memicu pergerakan harga signifikan, inflasi ujung-ujungnya," papar Hadi.
Kendati demikian, capaian inflasi sepanjang tahun ini juga turut dipengaruhi kebijakan harga BBM oleh pemerintah pusat, meski kontribusi komoditas pangan masih relatif besar.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.