ABSTRAK :
Provinsi Papua Barat merupakan sebuah provinsi
di Pulau Papua yang dimekarkan dari Provinsi Papua berdasarkan Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 1999. Sejak tahun 2010, Papua Barat mengalami perkembangan pesat
dalam pembangunan infrastuktur fisik untuk menunjang kegiatan ekonomi yang pada
akhirnya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk di wilayah ini
yang cukup tertinggal bila dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Perekonomian
Papua Barat terbilang cukup menjanjikan terlebih dengan keberadaan Sumber Daya
Alam (SDA) yang melimpah, sama halnya seperti Provinsi Papua. Papua Barat
memiliki aset SDA gas alam cair yang diolah oleh perusahaan raksasa BP (British Petroleum) sejak Juni 2009
di Kabupaten Teluk Bintuni. Keberadaan gas alam cair Tangguh serta merta
berdampak terhadap perekonomian Papua Barat pada tahun 2010 yang tumbuh sangat
tinggi, yaitu sebesar 46,56 persen (data BPS, PDRB tahun dasar 2010). Bahkan
sektor migas menguasai lebih dari separuh dari penciptaan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) selama lima tahun terakhir, artinya perekonomian Papua
Barat tergolong sangat rapuh dikarenakan guncangan eksternal yang negatif
terhadap sektor migas akan menyebabkan perlambatan ekonomi daerah.
Letak Geografis
Provinsi Papua dengan luas 317.062 kilometer persegi terdiri dari 28 kabupaten dan 1 kota dengan jumlah penduduk 2.851.999 jiwa (BPS, 2010). Luas wilayah provinsi Papua adalah 317. 062 (Km2). Jika dibandingkan dengan wilayah Republik Indonesia, maka luas wilayah Provinsi Papua merupakan 19,33 persen dari luas Negara Indonesia yang mencapai 1.890.754 (Km2) dan merupakan provinsi terluas di Indonesia.
. Kondisi Topografis
Provinsi Papua dengan luas 317.062 kilometer persegi terdiri dari 28 kabupaten dan 1 kota dengan jumlah penduduk 2.851.999 jiwa (BPS, 2010). Luas wilayah provinsi Papua adalah 317. 062 (Km2). Jika dibandingkan dengan wilayah Republik Indonesia, maka luas wilayah Provinsi Papua merupakan 19,33 persen dari luas Negara Indonesia yang mencapai 1.890.754 (Km2) dan merupakan provinsi terluas di Indonesia.
. Kondisi Topografis
Papua merupakan salah satu daerah yang
terpencil, memiliki laut dan pantai, memiliki topografi yang kasar, memiliki
iklim tropis basah yang puncak pegunungannya selalu ditutupi salju abadi.
Diselimuti hutan dan hujan tropik basah dan hujan berekologi
Demografis
Dari tahun ke tahun
jumlah penduduk di Provinsi Papua terus meningkat. Pada tahun 2003 jumlah
penduduk sebesar 1.823.872 jiwa, kemudian pada tahun 2007 meningkat menjadi
2.015.616 jiwa. Sedangkan data terakhir berdasarkan hasil pencacahan Sensus
Penduduk Tahun 2010, jumlah penduduk Provinsi Papua sementara adalah 2.851.999
orang, yang terdiri atas 1.510.285 laki-laki dan 1.341.714 perempuan. Dengan
luas wilayah Provinsi Papua sekitar 317.062 km2 dan didiami oleh 2.851.999
jiwa, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Provinsi Papua adalah sebanyak
sembilan orang per km2, hal ini mengindikasikan bahwa masih luasnya wilayah di
Provinsi Papua yang tidak berpenghuni.
Keadaan Penduduk
Provinsi
Papua Secara etno biologis Penduduk Papua merupakan suku bangsa yang memiliki
pertalian etnis tersendiri dibandingkan dengan suku bangsa lainnya yang ada di
Indonesia. Letaknya berada di ujung timur Indonesia, hidup di tengah
keterasingan dan jauh dari kontak dengan kemajuan atau modernisasi. Kenyataan
menunjukkan bahwa situasi dan kondisi yang kurang kondusif membuat masyarakat
berada dalam tarap hidup yang cukup memprihatinkan. Pada saat ini sebagian
besar orang Papua masih berbusana sederhana sebagai simbol keterbelakangan
mereka, sebagian besar penduduk Papua masih primitif ibarat hidup di jaman
batu, peramu (nomad). Mereka bermukim terpencar dan terpencil di lepas
pantai, pesisir pantai, peralihan, lereng-lereng gunung, lembah-lembah serta
celah-celah gunung yang sulit di jangkau bahkan jauh dari pusat-pusat pelayanan
pemerintah
Kondisi
Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi mereka sangat memprihatinkan yakni
kondisi perumahan sangat darurat, hidup dalam honai/ owa, tingkat inflasi dan
harga barang dan jasa tertinggi di Indonesia, sebagian besar dari mereka nyaris
tanpa busana dan pola perekonomian subsisten. Selain itu tingkat pendidikan
relatif rendah, angka buta huruf mencapai lebih dari 70%, tinggat kesehatan
rendah dan gizi rawan, Angka Kematian Bayi Tertinggi di Indonesia, Prevalensi
HIV/AIDS Tertinggi di Indonsia, Tingkat Kemiskinan Tertinggi di Indonesia,
Korupsi Tertinggi di Indonesia, Kinerja Pemerintah Terendah di Indonesia,
Indeks Pembangunan Manusia Papua urutan ke 33 dari 33 propinsi di Indonesia.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DI PAPUA SAAT INI
1. Propinsi
Termiskin di Indonesia
Sumber Daya Manusia (SDM) dari 2 juta lebih
penduduk yang ada saat ini, hampir setengah penduduk Papua yaitu 40,78% hidup
dengan status Rumah Tangga Miskin (RTM). Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS) BPS 2010 menunjukkan Propinsi Papua merupakan Propinsi
termiskin di Indonesia yakni 34,88%. Sedangkan bila dibandingkan dengan
Propinsi-Propinsi yang sumber daya alamnya lebih rendah dari Propinsi Papua
justru angka kemiskinan lebih baik, misalnya Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
23,03%, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 21,55%, Propinsi Bangka Belitung
18,94%. Padahal saat ini Papua adalah Propinsi dengan kewenangan Otonomi Khusus
(UU 21 Tahun 2001) dengan dana pembangunan perkapita tertinggi di Indonesia.Total dana Otonomi Khusus
2002-2009 sebesar 9,353 triliun dan Infrastruktur 2007-2009 dengan dana 2,5
triliun. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian serius oleh pemerintah
Propinsi Papua adalah Indeks Keparahan Kemiskinan (IKK) di Propinsi Papua yang
juga paling tinggi di Indonesia yaitu sebesar 2.99%. Bila dibandingkan dengan
Propinsi Lainnya maupun juga secara nasional, Indeks Keparahan Kemiskinan hanya
0.68% sampai dengan 1% saja.
Tingkat Inflasi dan Biaya Hidup
Tertinggi
Tinggi-rendahnya tingkat inflasi dapat
mempengaruhi stabilitas harga barang dan jasa di suatu daerah. Stabilitas harga
di Propinsi Papua selain disebabkan karena peningkatan inflasi tiap tahun, juga
diakibatkan karena jarak tempuh distribusi barang dan jasa dari pusat-pusat
produksi ke Propinsi Papua yang sangat jauh sehingga memakan besarnya biaya
transportasi. Propinsi Papua, harga Semen 1 Sak di Jayapura 70 ribu,
Wamena 500 ribu dan Puncak Jaya 1,2 juta. Harga Beras bermerek berisi 25
kilogram Rp.750.000-Rp.800.000 per karung di Puncak Jaya, sedangkan di Jakarta
Beras yang bermerek dan bermutu tinggi seperti Pandanwangi atau Rojolele untuk
25 kilogram hanya Rp.80.000,- per karung. Di Pegunungan Bintang, harga Minyak
Bensin untuk 1 liter mencapai Rp.40.000, sedangkan saat ini harga nasional
hanya Rp.4.500,-. Melambungnya harga barang di daerah Pedalaman Papua ini,
selain karena adanya tingkat inflasi yang tinggi, juga karena moda transportasi
untuk melayani penduduk pedalaman Papua hanya dilalui melalui jaringan
transportasi udara. Sementara itu, pemerintah Propinsi Papua belum mampu
melakukan upaya pengendalian jalur distribusi barang dari pusat produksi sampai
di konsumen di wilayah Papua. Padahal konsumen terbanyak berada di
Pedalaman Papua yang merupakan jumlah penduduk paling padat yaitu 1,2
juta di 10 kabupaten yang ada di daerah pegunungan Tengah Papua, atau 60%
dari keseluruhan jumlah penduduk Papua.
3. Indeks
Pembangunan Manusia Terendah di Indonesia
Human Development Index atau Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang dilihat dari perbandingan harapan hidup saat
kelahiran, pengetahuan yang diukur dari angka tingkat baca tulis pada orang
dewasa serta standar hidup layak maka, untuk Indonesia pada tahun 1999 IPM
64,3% menjadi 71.17% di tahun 2008. Sedangkan Propinsi Papua tahun 1999 IPM
58,8% menjadi 64,00 di tahun 2008. Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2008,
Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi Papua paling rendah dari rata-rata
nasional dan terendah diantara propinsi lainnya di Indonesia. Bahkan bila
dibandingkan dengan Propinsi yang termiskin sumber daya alamnya seperti Sultra
69.00, Bengkulu 72.14, Jambi 71.99.
4. Tingkat
Partisipasi Pendidikan Terendah di Indonesia
Pada tahun 2007, tingkat partisipasi
pendidikan Sekolah Dasar di Propinsi Papua 82.92% (BPS, 2007), sedangkan
rata-rata nasional lebih dari 93.75%. Dengan angka ini menempatkan Propinsi
Papua berada di posisi ke 33 dari 33 propinsi di Indonesia, artinya tingkat
partisipasi pendidikan di propinsi Papua paling rendah di Indonesia. Bila kita
menganalisis secara mendalam ternyata tingkat partisipasi pendidikan propinsi
Papua 2007 sebesar 82,92% lebih buruk atau cenderung menurun dari pada tahun
2004 yaitu 85,21%.
5. Tingkat
Kepadatan Penduduk Rendah
Kepadatan Penduduk Propinsi Papua tidak
mengalami peningkatan secara signifikan sejak tahun 1971. Pada tahun 1971
kepadatan Penduduk Propinsi Papua adalah 2 orang penduduk tiap 1 Km², dan pada
tahun 1990 menjadi 5 orang Penduduk tiap 1 Km², kemudian pada tahun 2005
kepadatan penduduk di Papua tidak mengalami peningkatan tiap Km² hanya dihuni
oleh 7 orang. Jumlah tersebut di atas berbeda dengan propinsi lain di
Indonesia, misalnya Jawa Barat 757 orang tiap1Km², Sumatera Utara 169 orang
tiap 1Km². Serta
masih lebih rendah dari kepadatan penduduk rata-rata nasional, 116 orang tiap
1Km². Bila dianalisis maka ternyata pemerintah propinsi Papua kurang
memperhatikan aspek penataan ruang dan penduduk lokal di Papua.
6. Papua Terisolir dan
Terpencil
Dalam rangka mengatasi Permasalahan
infratruktur Jalan dan Jembatan di wilayah Propinsi Papua, maka pemerintah
pusat telah menargetkan 11 ruas jalan strategis dan prioritas Propinsi
Papua 2010-2014 yaitu 7 ruas jalan strategis dan 4 ruas jalan perioritas.Untuk membangun 11 ruas jalan strategis dan
prioritas membutuhkan dana sebesar 9,78 triliun rupiah. Pembangunan 7 ruas
jalan strategis itu adalah: Nabire-Waghete dan Enarotali (262 km),
Jayapura-Wamena dan Mulia (733 km), Timika-Mapuru Jaya dan Pomako (39,6 km),
Serui-Menawi dan Saubeba (499km), Jayapura-Sarmi (364 km), Jayapura, Holtekam
batas PNG (53 km), Merauke Waropko (557 km), dengan total 2.056 km. Sementera
itu 4 ruas jalan prioritas Propinsi Papua sebanyak 361 km; Depapre-Bongrang,
Wamena-Timika-Enarotali, dan Ring Road Jayapura. Strategi penerobosan isolasi
dan daerah terpencil di Papua tersebut di atas merupakan program pemerintah
pusat. Meskipun periode Pemerintahan ini akan berakir, namun sampai saat ini
pemerintah propinsi Papua belum mempunyai grand design pembangunan
infrastruktur di Papua. Salah satu moda transportasi yang sangat vital di Papua
adalah moda transportasi udara. Pada saat ini di Papua terdapat 300 buah
lapangan terbang perintis, dan hanya dilayani oleh 5 buah pesawat Merpati
buatan 1975 serta tidak lebih dari 5 buah perusahaan swasta yang melayani
mobilitas barang dan jasa.
7. Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Terkecil Di Tengah Kelimpahan
PT Freeport Indonesia belum menjalankan
amanat UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, misalnya dikabarkan
belum membayar Pajak Pertambangan Umum (PPu) kepada propinsi Papua sebesar 80%.
Sebuah sumber mengungkapkan bahwa sampai saat ini Freeport hanya mampu membayar
Pajak Bagi Hasil (PBh) sumber daya alam sebesar 18% sekitar 500 miliar saja
dari yang seharusnya 80% atau sekitar 6 triliun rupiah sesuai dengan amanat
Otonomi Khusus. Sementara keuntungan
yang didulang Freeport setiap tahun terus meningkat. Laba bersih tahun 2002
RP.1,27 triliun, 2003 menjadi 1,62 triliun, tahun 2004 menjadi 9,34 triliun.
Sekali lagi itu laba bersih bukan sales atau laba kotor.
Rupanya amanat Otonomi Khusus tentang bagi hasil Pajak Pertambangan Umum 80%
untuk Propinsi Papua dipermainkan oleh pemerintah pusat. Pemda Papua
seakan-akan bodoh sehingga dibodohi oleh mereka yang merasa pintar. Dampaknya
bisa kita lihat Pendapatan Asli Daerah (PAD) Papua yang relatif kecil yaitu RP
360 miliar pada tahun 2009 (bandingkan saja PAD DKI Jakarta tahun 2009 mencapai
10,363 trilliun).
8. Bahaya HIV/AIDS yang mengancam Papua
Kasus-kasus HIV–Positif yang terdeteksi melalui survailans dengan
bantuan hasil test reagent ELISA maupun juga Western
blot menemukan bahwa sampai dengan Agustus 2010 di Propinsi Papua
sebanyak 5.000 Warga Papua terkena AIDS. Diprediksikan bahwa jumlah penderita
HIV/AIDS akan meningkat tajam pada tahun-tahun mendatang. Berbeda dengan kasus
HIV/AIDS di Pulau Jawa yang penularannya melalui jarum suntik, untuk Propinsi
Papua penularannya lebih banyak melalui hubungan seksual sembarangan.
Peningkatan jumlah prevalensi HIV/AIDS ini akan terus meningkat secara deret
ukur, sementara angka kelahiran mengalami pertumbuhan minimal (minimizing
zero growth) secara deret hitung sehingga diperkirakan penduduk Papua
terancam berkurang drastis.
9. Epidemi Korupsi yang
Menggurita di Papua
Hasil survei pelaku bisnis yang dirilis
Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan "Political & Economic
Risk Consultancy" (PERC) yang berbasis di Hong Kong menyebutkan Indonesia
mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup yang disurvei
pada tahun 2010. Nilai tersebut naik dari tahun lalu yang poinnya 7,69.
Sedangkan, posisi kedua ditempati oleh Kamboja sebagai negara paling korup.
Sementara itu, Survei Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang dilakukan pada
September sampai dengan Desember 2008, bertujuan untuk mengukur tingkat korupsi
pemerintah daerah berdasarkan persepsi pelaku bisnis setempat. Yogyakarta Kota
Terbersih dari korupsi mendapatkan skor Tertinggi yaitu 6,43. Sementara
itu Manokwari (3,39) termasuk Kota Terkorup, dan rata-rata sebagian besar kota
di Propinsi Papua termasuk jajaran 10 besar kota terkorup di Indonesia.
10. Penduduk Papua
Terancam Berkurang Drastis
Jumlah Penduduk Propinsi Papua pada tahun
1971 adalah sebanyak 923.449 jiwa, maka berdasarkan sensus penduduk tahun 2000
menjadi 1.684.144 juta jiwa, dan di tahun 2005 menjadi 1.875.388 juta jiwa.
Dimana pada tahun yang sama untuk Propinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan
secara drastis dari 6.621.831 juta jiwa di tahun 1971 menjadi 11.642.488 di
tahun 2000 dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 12.450.911 juta jiwa.
Sedangkan jumlah penduduk nasional mengalami peningkatan dari 119.208.229 juta
jiwa di tahun 1971 dan 205.132.458 pada tahun 2000 serta 237,6 juta jiwa di
tahun 2010. Semua diakibatkan karena berbagai faktor yang mempengaruhi
diantaranya ; 1/ Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap hidup sehat dapat dikatakan
bahwa dari faktor kesehatan yang belum memadai dan juga kurangnya tenaga
kesehatan dan ahli dalam mensosialisasikan ke masyarakat, 2/ Keadaan wilayah
atau daerah di Papua hampir sebagian masih banyak daerah yang berupa hutan dan
pegunungan dimana kondisi wilayah yang begitu sulit untuk dilakukan pembangunan
secara teratur, sehingga sulit untuk menjangkau masyarakat yang ditempat-tempat
terpencil seperti diatas gunung, 3/ Sering terjadinya perang antar suku yang
juga biasanya memakan korban terhadap masyarakat pribumi di Papua,dan masih
banyak lagi yang menyebabkan penduduk Papua berkurang secara drastis disamping
oleh berbagai faktor diatas termasuk kematian yang disebabkan oleh berbagai
penyakit, bencana alam, dan lain sebagainya.
KESIMPULAN
:
Perekonomian Papua Barat yang tergolong rentan terhadap kondisi ekonomi nasional perlu dibenahi. Sumber pertumbuhan ekonomi Papua Barat lebih banyak ditopang dari lapangan usaha Konstruksi, selain industri migas. Hal ini berarti bahwa naik turunnya ekonomi Papua Barat dipengaruhi dari pembangunan infrastruktur fisik dan membaiknya iklim investasi untuk sektor tersebut. Memasuki tahun 2016, pemerintah daerah di Papua Barat perlu membuat kebijakan progresif untuk mendorong tumbuhnya sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) yang memproduksi barang dan jasa. Selain itu impor barang juga harus didukung oleh peningkatan sektor transportasi yang memadai karena sebagian besar barang yang beredar di Papua Barat sepenuhnya berasal dari luar wilayah seperti Surabaya, Manado dan Makassar. Adanya sinyalemen positif dari ekonomi nasional perlu direspon dengan tepat agar pertumbuhan ekonomi Papua Barat membaik di tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA :
Agus
Sumule, Ph.D, Mencari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Provinsi Papua. 2003.
Gramedia, Jakarta
Natalis
Pigai, Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua. 2001. Sinar
Harapan, Jakarta
Natalis
Pigai, Arah Baru Pembangunan Papua, 2010, BRR Aceh-Nias, Aceh
Natalis
Pigai, Dialog Solusi Jakarta dan Papua, Opini Koran Sinar Harapan, 29 Juli
2012, Jakarta,
Kompas,
Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik, 2008, Penerbit Kompas, Jakarta
BPS,
Papua Dalam Angka, 2010, 2011 dan 2012, BPS Provinsi Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.