.

Sabtu, 15 Maret 2025

Inflasi dan Nilai tukar mata uang: Hubungan yang saling berkaitan

 Oleh : RO'ID RAMADAN (G18)

Abstrak : Artikel ini menganalisis hubungan kompleks antara inflasi dan nilai tukar mata uang dalam perekonomian suatu negara. Dengan pendekatan teoritis dan empiris, studi ini mengkaji mekanisme pengaruh timbal balik antara kedua variabel ekonomi makro tersebut. Inflasi sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dapat mempengaruhi nilai tukar melalui perubahan daya beli mata uang, sementara nilai tukar yang terdepresiasi dapat mendorong terjadinya imported inflation. Penelitian ini juga membahas faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi hubungan tersebut, serta implikasinya terhadap kebijakan moneter, fiskal, dan perdagangan internasional. Temuan utama menunjukkan bahwa stabilitas kedua variabel ini menjadi fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dengan kebutuhan akan koordinasi kebijakan yang komprehensif antara bank sentral dan pemerintah untuk mengelola keseimbangan yang optimal.

Kata Kunci: inflasi, nilai tukar, kebijakan moneter, purchasing power parity, pass-through effect, perekonomian terbuka.

 

ABSTRACT

This article analyzes the complex relationship between inflation and exchange rates in a country's economy. With theoretical and empirical approaches, this study examines the mechanism of reciprocal influence between the two macroeconomic variables. Inflation as an increase in the price of goods and services in general can affect the exchange rate through changes in the purchasing power of the currency, while a depreciated exchange rate can encourage imported inflation. This study also discusses external and internal factors that affect the relationship, as well as their implications for monetary, fiscal, and international trade policies. The main findings show that the stability of these two variables is an important foundation for sustainable economic growth, with the need for comprehensive policy coordination between the central bank and the government to manage the optimal balance.

Keywords: inflation, exchange rate, monetary policy, purchasing power parity, pass-through effect, open economy.

 

 1. PENDAHULUAN

Dalam perekonomian global yang semakin terintegrasi, inflasi dan nilai tukar mata uang merupakan dua variabel ekonomi makro yang memiliki peran vital. Inflasi sebagai indikator stabilitas harga internal dan nilai tukar sebagai cerminan kekuatan ekonomi eksternal memiliki hubungan yang kompleks dan saling mempengaruhi. Hubungan ini menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan ekonomi di negara-negara berkembang maupun maju, karena memiliki dampak langsung terhadap daya saing, kesejahteraan masyarakat, dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

Inflasi, yang didefinisikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus, dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk peningkatan permintaan agregat (demand-pull inflation), kenaikan biaya produksi (cost-push inflation), atau ekspektasi inflasi yang tinggi. Sementara itu, nilai tukar mata uang mencerminkan harga relatif mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain, yang dipengaruhi oleh kondisi fundamental ekonomi, kebijakan moneter, sentimen pasar, dan intervensi pemerintah.

Keterkaitan antara inflasi dan nilai tukar telah menjadi topik penelitian ekonomi yang ekstensif sejak dekade 1970-an, saat sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate) mulai diterapkan secara luas pasca runtuhnya sistem Bretton Woods. Dalam konteks perekonomian terbuka, teori Purchasing Power Parity (PPP) dan Interest Rate Parity (IRP) menyediakan kerangka analitis untuk memahami bagaimana perubahan tingkat harga domestik relatif terhadap tingkat harga luar negeri dapat mempengaruhi nilai tukar dalam jangka panjang.

Di era globalisasi dan liberalisasi perdagangan, hubungan antara inflasi dan nilai tukar menjadi semakin kompleks. Integrasi pasar keuangan global, mobilitas modal yang tinggi, dan ketergantungan pada rantai pasok internasional menciptakan jalur transmisi baru yang memperkuat hubungan timbal balik antara kedua variabel tersebut. Kondisi ini menghadirkan tantangan dan peluang bagi pengelolaan kebijakan ekonomi makro, terutama bagi negara-negara dengan perekonomian terbuka kecil (small open economies) yang rentan terhadap guncangan eksternal.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif hubungan dinamis antara inflasi dan nilai tukar mata uang, dengan mempertimbangkan berbagai perspektif teoretis dan bukti empiris dari berbagai konteks ekonomi. Pembahasan akan mencakup mekanisme transmisi, faktor-faktor penentu, serta implikasi kebijakan yang relevan bagi stabilitas ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

2. PERMASALAHAN

Hubungan antara inflasi dan nilai tukar mata uang menimbulkan beberapa permasalahan kompleks yang memerlukan analisis mendalam, di antaranya:

2.1 Dilema Arah Kausalitas

Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah mengenai arah kausalitas antara inflasi dan nilai tukar. Apakah inflasi yang mempengaruhi nilai tukar atau sebaliknya? Atau apakah keduanya saling mempengaruhi dalam hubungan simultan? Pemahaman yang tepat tentang arah kausalitas ini penting untuk merumuskan kebijakan ekonomi yang efektif.

 2.2 Kompleksitas Mekanisme Transmisi

Mekanisme transmisi antara inflasi dan nilai tukar sangat kompleks dan melibatkan banyak saluran yang saling terkait, seperti harga barang impor, ekspektasi inflasi, daya saing ekspor, dan aliran modal. Mengidentifikasi dan mengukur kekuatan relatif dari masing-masing saluran transmisi ini merupakan tantangan tersendiri bagi para peneliti dan pembuat kebijakan.

2.3 Pengaruh Faktor Eksternal

Dalam era globalisasi, faktor eksternal seperti volatilitas pasar keuangan global, perubahan kebijakan moneter negara maju, dan guncangan harga komoditas internasional dapat mempengaruhi dinamika inflasi dan nilai tukar secara signifikan. Bagaimana suatu negara dapat mengelola dampak faktor eksternal ini menjadi persoalan penting.

 2.4 Trade-off dalam Kebijakan Moneter

Bank sentral sering menghadapi trade-off dalam mengejar target inflasi domestik dan stabilitas nilai tukar. Kebijakan moneter yang ketat untuk mengendalikan inflasi dapat menarik arus modal masuk dan menyebabkan apresiasi mata uang, yang pada gilirannya dapat menghambat ekspor dan pertumbuhan ekonomi.

 2.5 Perbedaan Kontekstual

Hubungan antara inflasi dan nilai tukar dapat bervariasi secara signifikan antara negara maju dan negara berkembang, tergantung pada struktur ekonomi, rezim nilai tukar, kredibilitas kebijakan moneter, dan tingkat integrasi dengan ekonomi global. Memahami perbedaan kontekstual ini penting untuk mengembangkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi spesifik suatu negara.

2.6 Dampak Asimetris

Depresiasi dan apresiasi mata uang mungkin memiliki dampak asimetris terhadap inflasi. Umumnya, depresiasi mata uang cenderung memiliki dampak inflasi yang lebih kuat dibandingkan dengan dampak deflasi dari apresiasi mata uang dengan besaran yang sama. Fenomena ini, yang dikenal sebagai asymmetric pass-through, menambah kompleksitas dalam pengelolaan kebijakan nilai tukar.

Permasalahan-permasalahan ini akan menjadi fokus analisis dalam pembahasan artikel, dengan tujuan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika hubungan antara inflasi dan nilai tukar mata uang.

3. PEMBAHASAN

 3.1 Mekanisme Hubungan Inflasi dan Nilai Tukar

 3.1.1 Pengaruh Inflasi terhadap Nilai Tukar

Inflasi mempengaruhi nilai tukar melalui beberapa jalur utama:

Purchasing Power Parity (PPP): Teori ini menyatakan bahwa dalam jangka panjang, nilai tukar akan menyesuaikan untuk merefleksikan perbedaan tingkat harga antara dua negara. Jika inflasi di negara A lebih tinggi dibandingkan dengan negara B, mata uang negara A cenderung mengalami depresiasi terhadap mata uang negara B, sehingga daya beli kedua mata uang tetap relatif setara.

Penurunan Daya Saing: Inflasi yang tinggi dapat mengurangi daya saing produk ekspor suatu negara di pasar internasional karena harga produk menjadi lebih mahal. Akibatnya, permintaan terhadap mata uang negara tersebut menurun, mendorong depresiasi nilai tukar.

 

Perubahan Suku Bunga: Untuk mengendalikan inflasi, bank sentral sering menaikkan suku bunga. Suku bunga yang lebih tinggi cenderung menarik investasi asing, meningkatkan permintaan terhadap mata uang domestik, dan menyebabkan apresiasi nilai tukar. Mekanisme ini dijelaskan dalam teori Interest Rate Parity (IRP).

Ekspektasi Inflasi : Ekspektasi pasar terhadap inflasi masa depan dapat mempengaruhi nilai tukar saat ini. Jika pelaku pasar mengantisipasi inflasi yang tinggi di masa depan, mereka mungkin menjual mata uang domestik, menyebabkan depresiasi nilai tukar bahkan sebelum inflasi aktual terjadi.

3.1.2 Pengaruh Nilai Tukar terhadap Inflasi

Sebaliknya, nilai tukar juga mempengaruhi inflasi melalui beberapa mekanisme:

Exchange Rate Pass-through: Depresiasi mata uang domestik menyebabkan harga barang impor menjadi lebih mahal dalam mata uang lokal. Fenomena ini, yang dikenal sebagai imported inflation, dapat berkontribusi signifikan terhadap inflasi domestik, terutama di negara-negara yang sangat bergantung pada impor.

Biaya Input Produksi: Depresiasi mata uang meningkatkan biaya input produksi yang diimpor, yang kemudian dapat ditransfer ke konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi, mendorong cost-push inflation.

Ekspektasi dan Spiral Inflasi: Depresiasi mata uang yang signifikan dapat memicu ekspektasi inflasi yang lebih tinggi, mendorong pekerja untuk menuntut kenaikan upah dan perusahaan untuk meningkatkan harga, menciptakan spiral inflasi yang dapat memperburuk situasi ekonomi.

Dampak terhadap Aggregate Demand: Perubahan nilai tukar dapat mempengaruhi aggregate demand melalui dampaknya terhadap ekspor neto. Depresiasi mata uang cenderung meningkatkan ekspor dan mengurangi impor, yang dapat menyebabkan demand-pull inflation jika ekonomi sudah beroperasi dekat dengan kapasitas penuh.

3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Inflasi dan Nilai Tukar

 3.2.1 Rezim Nilai Tukar

Jenis rezim nilai tukar yang diadopsi suatu negara sangat mempengaruhi dinamika hubungan inflasi dan nilai tukar:

Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate): Dalam rezim ini, otoritas moneter berkomitmen untuk mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu. Inflasi domestik yang tinggi dalam rezim nilai tukar tetap dapat menyebabkan apresiasi riil mata uang, mengurangi daya saing, dan berpotensi menimbulkan krisis neraca pembayaran jika tidak didukung oleh fundamental ekonomi yang kuat.

Nilai Tukar Mengambang (Floating Exchange Rate): Dalam rezim nilai tukar mengambang, nilai tukar dapat menyesuaikan secara otomatis terhadap perubahan kondisi ekonomi, termasuk inflasi. Inflasi yang tinggi biasanya menyebabkan depresiasi mata uang, yang dapat membantu mempertahankan daya saing ekspor tetapi juga berpotensi memperburuk inflasi melalui pass-through effect.

Rezim Nilai Tukar Antara (Intermediate Regimes): Rezim seperti crawling peg, managed float, dan currency band mencoba menyeimbangkan antara stabilitas nilai tukar dan fleksibilitas dalam merespons guncangan ekonomi. Efektivitas rezim ini dalam mengelola hubungan inflasi-nilai tukar tergantung pada kredibilitas kebijakan dan konsistensi implementasi.

 3.2.2 Struktur Ekonomi

Karakteristik struktural ekonomi suatu negara juga mempengaruhi kekuatan dan arah hubungan antara inflasi dan nilai tukar:

Keterbukaan Ekonomi: Negara dengan ekonomi yang sangat terbuka (rasio perdagangan terhadap PDB yang tinggi) cenderung mengalami pass-through effect yang lebih kuat dari nilai tukar ke inflasi dibandingkan dengan ekonomi yang lebih tertutup.

Diversifikasi Ekspor dan Impor: Ekonomi dengan struktur ekspor yang terdiversifikasi dan ketergantungan impor yang lebih rendah cenderung kurang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan efek inflasi terkait.

Rigiditas Harga dan Upah: Ekonomi dengan rigiditas harga dan upah yang tinggi mungkin mengalami penyesuaian yang lebih lambat terhadap perubahan nilai tukar, mempengaruhi dinamika inflasi jangka pendek.

Dolarisasi Ekonomi: Di negara-negara dengan tingkat dolarisasi yang tinggi (penggunaan mata uang asing yang luas dalam transaksi domestik), perubahan nilai tukar dapat memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap harga domestik dan stabilitas keuangan.

 3.2.3 Kebijakan Moneter dan Fiskal

Kredibilitas dan kerangka kebijakan makroekonomi secara keseluruhan sangat mempengaruhi hubungan inflasi-nilai tukar:

Independensi Bank Sentral: Bank sentral yang independen dengan komitmen kuat terhadap stabilitas harga cenderung memiliki kredibilitas yang lebih tinggi, yang dapat membantu menjangkar ekspektasi inflasi dan mengurangi volatilitas nilai tukar.

 

Inflation Targeting: Kerangka kebijakan moneter yang berfokus pada target inflasi eksplisit dapat membantu mengelola ekspektasi inflasi dan meningkatkan transparansi kebijakan, yang pada gilirannya dapat menstabilkan nilai tukar.

Disiplin Fiskal: Defisit fiskal yang tinggi dan berkelanjutan dapat menyebabkan tekanan inflasi dan ketidakseimbangan eksternal, memperburuk volatilitas nilai tukar. Sebaliknya, kebijakan fiskal yang prudent dapat mendukung stabilitas makroekonomi.

Koordinasi Kebijakan: Koordinasi yang efektif antara kebijakan moneter dan fiskal penting untuk mengelola trade-off antara stabilitas harga domestik dan nilai tukar.

 3.3 Perspektif Empiris: Bukti dari Berbagai Negara

Studi empiris tentang hubungan inflasi dan nilai tukar menunjukkan variasi yang signifikan antar negara dan periode waktu:

3.3.1 Negara Maju vs Negara Berkembang

Negara Maju: Secara umum, negara maju menunjukkan pass-through effect yang lebih rendah dari nilai tukar ke inflasi. Ini mungkin disebabkan oleh kredibilitas kebijakan moneter yang lebih tinggi, struktur ekonomi yang lebih terdiversifikasi, dan pasar keuangan yang lebih dalam.

Negara Berkembang: Negara berkembang sering mengalami pass-through effect yang lebih tinggi dan hubungan yang lebih volatile antara inflasi dan nilai tukar. Fenomena ini terkait dengan ketergantungan impor yang lebih tinggi, kredibilitas kebijakan yang lebih rendah, dan kerentanan terhadap sudden stops dalam aliran modal.

3.3.2 Tren Temporal

Beberapa studi menunjukkan bahwa kekuatan hubungan antara inflasi dan nilai tukar telah berubah seiring waktu:

Penurunan Pass-through Effect: Selama beberapa dekade terakhir, banyak negara mengalami penurunan pass-through effect dari nilai tukar ke inflasi, yang sebagian dapat dikaitkan dengan peningkatan kredibilitas kebijakan moneter, penurunan tingkat inflasi global, dan perubahan dalam struktur penetapan harga perusahaan multinasional.

Dampak Globalisasi: Integrasi ekonomi global yang meningkat telah mengubah dinamika harga dan transmisi inflasi, dengan kompetisi global yang lebih tinggi terkadang membatasi kemampuan perusahaan untuk meneruskan kenaikan biaya akibat depresiasi mata uang.

 

 

3.3.3 Studi Kasus Spesifik

Krisis Asia 1997-1998: Selama krisis keuangan Asia, depresiasi mata uang yang tajam di negara-negara seperti Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan menyebabkan lonjakan inflasi yang signifikan, menunjukkan hubungan yang kuat antara nilai tukar dan inflasi dalam konteks guncangan ekonomi yang besar.

Hyperinflation di Amerika Latin: Pengalaman hiperinflasi di beberapa negara Amerika Latin seperti Argentina, Brasil, dan Bolivia pada 1980-an menunjukkan bagaimana dinamika inflasi-nilai tukar dapat menjadi tidak terkendali dalam kondisi ketidakstabilan makroekonomi yang ekstrem.

Krisis Keuangan Global 2008: Respon negara-negara terhadap krisis keuangan global menunjukkan variasi yang signifikan dalam hubungan inflasi-nilai tukar, dengan beberapa negara mengalami depresiasi mata uang yang substansial tanpa kenaikan inflasi yang sepadan, menunjukkan kompleksitas hubungan ini dalam konteks modern.

3.4 Implikasi Kebijakan

Pemahaman yang mendalam tentang hubungan inflasi dan nilai tukar memiliki implikasi penting bagi pembuat kebijakan:

3.4.1 Pilihan Rezim Nilai Tukar

Pemilihan rezim nilai tukar yang tepat harus mempertimbangkan karakteristik struktural ekonomi, tujuan kebijakan moneter, dan trade-off antara stabilitas nilai tukar dan fleksibilitas kebijakan. Tidak ada "satu ukuran untuk semua" dalam hal ini, dan rezim yang optimal mungkin berbeda antar negara dan berubah seiring waktu.

3.4.2 Kerangka Kebijakan Moneter

Bank sentral perlu mempertimbangkan dampak nilai tukar dalam kerangka kebijakan moneter mereka, bahkan jika fokus utama adalah stabilitas harga domestik. Ini dapat melibatkan:

Inflation Targeting Fleksibel: Mempertimbangkan dampak nilai tukar dalam formulasi kebijakan moneter, meskipun target utama tetap inflasi domestik.

Intervensi Nilai Tukar: Dalam beberapa kasus, intervensi di pasar valuta asing mungkin diperlukan untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan dan dampak inflasi yang tidak diinginkan.

Kebijakan Makroprudensial: Menggunakan instrumen makroprudensial untuk mengelola risiko terkait nilai tukar dalam sistem keuangan, terutama di negara-negara dengan ketidaksesuaian mata uang yang signifikan.

 

3.4.3 Koordinasi Kebijakan Internasional

Dalam ekonomi global yang saling terhubung, koordinasi kebijakan internasional dapat membantu mengelola spillover effects dari kebijakan moneter dan nilai tukar:

Dialog Multilateral: Forum seperti G20, IMF, dan Bank for International Settlements (BIS) dapat memfasilitasi dialog tentang implikasi lintas batas dari kebijakan nilai tukar dan moneter.

Swap Lines: Pengaturan swap mata uang antar bank sentral dapat membantu mengurangi tekanan likuiditas dan volatilitas nilai tukar selama periode stres pasar.

Pemantauan Global: Pemantauan dan peringatan dini terhadap ketidakseimbangan global dan risiko nilai tukar dapat membantu mencegah krisis yang berpotensi merusak stabilitas harga.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

 4.1 Kesimpulan

Hubungan antara inflasi dan nilai tukar mata uang merupakan fenomena ekonomi yang kompleks dan multidimensional. Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, beberapa kesimpulan utama dapat ditarik:

1. Hubungan Dua Arah: Inflasi dan nilai tukar memiliki hubungan dua arah yang saling mempengaruhi. Inflasi domestik yang tinggi relatif terhadap mitra dagang cenderung menyebabkan depresiasi mata uang dalam jangka panjang, sesuai dengan teori Purchasing Power Parity. Sebaliknya, depresiasi mata uang dapat meningkatkan tekanan inflasi melalui mekanisme pass-through, terutama di negara-negara dengan ketergantungan impor yang tinggi.

2. Konteks Spesifik: Kekuatan dan arah hubungan antara inflasi dan nilai tukar sangat bergantung pada konteks spesifik, termasuk rezim nilai tukar, struktur ekonomi, kredibilitas kebijakan moneter, dan tingkat keterbukaan ekonomi. Tidak ada model tunggal yang dapat menjelaskan dinamika ini di semua negara dan periode.

3. Perubahan Temporal: Hubungan antara inflasi dan nilai tukar telah mengalami perubahan seiring waktu, dengan kecenderungan umum menuju pass-through effect yang lebih rendah di banyak negara. Fenomena ini sebagian dapat dikaitkan dengan peningkatan kredibilitas kebijakan moneter, globalisasi, dan perubahan dalam praktik penetapan harga internasional.

4. Implikasi Kebijakan: Pemahaman yang tepat tentang hubungan inflasi-nilai tukar sangat penting untuk desain kebijakan moneter dan nilai tukar yang efektif. Bank sentral perlu mempertimbangkan trade-off antara stabilitas harga domestik dan nilai tukar dalam kerangka kebijakan mereka.

 

5. Pentingnya Koordinasi: Koordinasi antara kebijakan moneter, fiskal, dan struktural penting untuk mengelola hubungan inflasi-nilai tukar secara efektif. Pendekatan terisolasi terhadap salah satu aspek dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidakstabilan ekonomi.

4.2 Saran

Berdasarkan analisis dan kesimpulan di atas, beberapa saran kebijakan dapat dirumuskan:

1. Pendekatan Holistik: Pembuat kebijakan harus mengadopsi pendekatan holistik dalam mengelola inflasi dan nilai tukar, dengan mempertimbangkan interaksi kompleks antara keduanya dan faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan tersebut.

2. Fleksibilitas yang Terkelola: Bagi banyak negara, terutama ekonomi terbuka kecil, rezim nilai tukar dengan fleksibilitas yang terkelola (managed flexibility) mungkin menawarkan keseimbangan yang baik antara stabilitas dan kemampuan beradaptasi terhadap guncangan ekonomi.

3. Peningkatan Kredibilitas: Bank sentral harus terus berupaya meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter melalui transparansi, konsistensi, dan komunikasi yang efektif. Kredibilitas yang tinggi dapat membantu menjangkar ekspektasi inflasi dan mengurangi volatilitas nilai tukar.

4. Diversifikasi Ekonomi: Negara-negara dengan ketergantungan tinggi pada sektor tertentu atau impor harus berupaya untuk mendiversifikasi struktur ekonomi mereka untuk mengurangi kerentanan terhadap guncangan nilai tukar dan inflasi.

5. Penguatan Sistem Keuangan: Memperkuat ketahanan sistem keuangan terhadap fluktuasi nilai tukar melalui regulasi prudensial, pengelolaan risiko yang lebih baik, dan pengembangan pasar keuangan domestik.

6. Reformasi Struktural: Implementasi reformasi struktural yang bertujuan meningkatkan fleksibilitas ekonomi, efisiensi pasar, dan daya saing dapat membantu mengurangi sensitivitas inflasi terhadap guncangan nilai tukar.

7. Pemantauan dan Analisis: Mengembangkan kapasitas untuk pemantauan dan analisis yang lebih baik terhadap hubungan inflasi-nilai tukar, termasuk penggunaan model ekonometrik yang canggih dan indikator leading untuk mengidentifikasi risiko yang muncul.

8. Koordinasi International: Berpartisipasi aktif dalam dialog dan koordinasi kebijakan internasional untuk mengelola spillover effects dari kebijakan nilai tukar dan mengurangi risiko ketidakstabilan global.

 

Dengan mengadopsi pendekatan yang komprehensif dan berbasis bukti terhadap hubungan inflasi-nilai tukar, pembuat kebijakan dapat berkontribusi pada stabilitas makroekonomi yang lebih besar dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Agenor, P. R., & Montiel, P. J. (2015). Development Macroeconomics. Princeton University Press.

Aizenman, J., Chinn, M. D., & Ito, H. (2013). The "impossible trinity" hypothesis in an era of global imbalances: Measurement and testing. Review of International Economics, 21(3), 447-458.

Ball, L. M. (2006). Has globalization changed inflation? NBER Working Paper No. 12687.

Benigno, G., & Benigno, P. (2003). Price stability in open economies. The Review of Economic Studies, 70(4), 743-764.

Arifin, S., & Mayasya, S. (2018). Kebijakan Moneter, Nilai Tukar dan Inflasi di Indonesia: Analisis Ekonometrika. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Bank Indonesia. (2023). Laporan Kebijakan Moneter Triwulanan: Analisis Inflasi dan Nilai Tukar. Jakarta: Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia.

Simorangkir, I., & Suseno. (2021). Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar: Pengalaman Indonesia dan Implikasinya pada Perekonomian. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.