Oleh : RO'ID RAMADAN (G18)
Kata
Kunci: inflasi,
nilai tukar, kebijakan moneter, purchasing power parity, pass-through effect,
perekonomian terbuka.
ABSTRACT
This
article analyzes the complex relationship between inflation and exchange rates
in a country's economy. With theoretical and empirical approaches, this study
examines the mechanism of reciprocal influence between the two macroeconomic
variables. Inflation as an increase in the price of goods and services in
general can affect the exchange rate through changes in the purchasing power of
the currency, while a depreciated exchange rate can encourage imported
inflation. This study also discusses external and internal factors that affect
the relationship, as well as their implications for monetary, fiscal, and
international trade policies. The main findings show that the stability of
these two variables is an important foundation for sustainable economic growth,
with the need for comprehensive policy coordination between the central bank
and the government to manage the optimal balance.
Keywords: inflation, exchange rate, monetary
policy, purchasing power parity, pass-through effect, open economy.
1. PENDAHULUAN
Dalam
perekonomian global yang semakin terintegrasi, inflasi dan nilai tukar mata
uang merupakan dua variabel ekonomi makro yang memiliki peran vital. Inflasi
sebagai indikator stabilitas harga internal dan nilai tukar sebagai cerminan
kekuatan ekonomi eksternal memiliki hubungan yang kompleks dan saling
mempengaruhi. Hubungan ini menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan
ekonomi di negara-negara berkembang maupun maju, karena memiliki dampak
langsung terhadap daya saing, kesejahteraan masyarakat, dan stabilitas ekonomi
secara keseluruhan.
Inflasi,
yang didefinisikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan
terus-menerus, dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk peningkatan
permintaan agregat (demand-pull inflation), kenaikan biaya produksi (cost-push
inflation), atau ekspektasi inflasi yang tinggi. Sementara itu, nilai tukar
mata uang mencerminkan harga relatif mata uang suatu negara terhadap mata uang
negara lain, yang dipengaruhi oleh kondisi fundamental ekonomi, kebijakan
moneter, sentimen pasar, dan intervensi pemerintah.
Keterkaitan
antara inflasi dan nilai tukar telah menjadi topik penelitian ekonomi yang
ekstensif sejak dekade 1970-an, saat sistem nilai tukar mengambang (floating
exchange rate) mulai diterapkan secara luas pasca runtuhnya sistem Bretton
Woods. Dalam konteks perekonomian terbuka, teori Purchasing Power Parity (PPP)
dan Interest Rate Parity (IRP) menyediakan kerangka analitis untuk memahami
bagaimana perubahan tingkat harga domestik relatif terhadap tingkat harga luar
negeri dapat mempengaruhi nilai tukar dalam jangka panjang.
Di
era globalisasi dan liberalisasi perdagangan, hubungan antara inflasi dan nilai
tukar menjadi semakin kompleks. Integrasi pasar keuangan global, mobilitas
modal yang tinggi, dan ketergantungan pada rantai pasok internasional
menciptakan jalur transmisi baru yang memperkuat hubungan timbal balik antara
kedua variabel tersebut. Kondisi ini menghadirkan tantangan dan peluang bagi
pengelolaan kebijakan ekonomi makro, terutama bagi negara-negara dengan
perekonomian terbuka kecil (small open economies) yang rentan terhadap
guncangan eksternal.
Artikel
ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif hubungan dinamis antara
inflasi dan nilai tukar mata uang, dengan mempertimbangkan berbagai perspektif
teoretis dan bukti empiris dari berbagai konteks ekonomi. Pembahasan akan
mencakup mekanisme transmisi, faktor-faktor penentu, serta implikasi kebijakan
yang relevan bagi stabilitas ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan.
2.
PERMASALAHAN
Hubungan
antara inflasi dan nilai tukar mata uang menimbulkan beberapa permasalahan
kompleks yang memerlukan analisis mendalam, di antaranya:
2.1
Dilema Arah Kausalitas
Pertanyaan
mendasar yang sering muncul adalah mengenai arah kausalitas antara inflasi dan
nilai tukar. Apakah inflasi yang mempengaruhi nilai tukar atau sebaliknya? Atau
apakah keduanya saling mempengaruhi dalam hubungan simultan? Pemahaman yang
tepat tentang arah kausalitas ini penting untuk merumuskan kebijakan ekonomi
yang efektif.
2.2 Kompleksitas Mekanisme Transmisi
Mekanisme
transmisi antara inflasi dan nilai tukar sangat kompleks dan melibatkan banyak
saluran yang saling terkait, seperti harga barang impor, ekspektasi inflasi,
daya saing ekspor, dan aliran modal. Mengidentifikasi dan mengukur kekuatan
relatif dari masing-masing saluran transmisi ini merupakan tantangan tersendiri
bagi para peneliti dan pembuat kebijakan.
2.3
Pengaruh Faktor Eksternal
Dalam
era globalisasi, faktor eksternal seperti volatilitas pasar keuangan global,
perubahan kebijakan moneter negara maju, dan guncangan harga komoditas
internasional dapat mempengaruhi dinamika inflasi dan nilai tukar secara
signifikan. Bagaimana suatu negara dapat mengelola dampak faktor eksternal ini
menjadi persoalan penting.
2.4 Trade-off dalam Kebijakan Moneter
Bank
sentral sering menghadapi trade-off dalam mengejar target inflasi domestik dan
stabilitas nilai tukar. Kebijakan moneter yang ketat untuk mengendalikan
inflasi dapat menarik arus modal masuk dan menyebabkan apresiasi mata uang,
yang pada gilirannya dapat menghambat ekspor dan pertumbuhan ekonomi.
2.5 Perbedaan Kontekstual
Hubungan
antara inflasi dan nilai tukar dapat bervariasi secara signifikan antara negara
maju dan negara berkembang, tergantung pada struktur ekonomi, rezim nilai
tukar, kredibilitas kebijakan moneter, dan tingkat integrasi dengan ekonomi
global. Memahami perbedaan kontekstual ini penting untuk mengembangkan
kebijakan yang sesuai dengan kondisi spesifik suatu negara.
2.6
Dampak Asimetris
Depresiasi
dan apresiasi mata uang mungkin memiliki dampak asimetris terhadap inflasi.
Umumnya, depresiasi mata uang cenderung memiliki dampak inflasi yang lebih kuat
dibandingkan dengan dampak deflasi dari apresiasi mata uang dengan besaran yang
sama. Fenomena ini, yang dikenal sebagai asymmetric pass-through, menambah
kompleksitas dalam pengelolaan kebijakan nilai tukar.
Permasalahan-permasalahan
ini akan menjadi fokus analisis dalam pembahasan artikel, dengan tujuan
memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika hubungan antara
inflasi dan nilai tukar mata uang.
3.
PEMBAHASAN
3.1 Mekanisme Hubungan Inflasi dan Nilai
Tukar
3.1.1 Pengaruh Inflasi terhadap Nilai Tukar
Inflasi
mempengaruhi nilai tukar melalui beberapa jalur utama:
Purchasing
Power Parity (PPP):
Teori ini menyatakan bahwa dalam jangka panjang, nilai tukar akan menyesuaikan
untuk merefleksikan perbedaan tingkat harga antara dua negara. Jika inflasi di
negara A lebih tinggi dibandingkan dengan negara B, mata uang negara A
cenderung mengalami depresiasi terhadap mata uang negara B, sehingga daya beli
kedua mata uang tetap relatif setara.
Penurunan
Daya Saing:
Inflasi yang tinggi dapat mengurangi daya saing produk ekspor suatu negara di
pasar internasional karena harga produk menjadi lebih mahal. Akibatnya,
permintaan terhadap mata uang negara tersebut menurun, mendorong depresiasi
nilai tukar.
Perubahan
Suku Bunga: Untuk
mengendalikan inflasi, bank sentral sering menaikkan suku bunga. Suku bunga
yang lebih tinggi cenderung menarik investasi asing, meningkatkan permintaan
terhadap mata uang domestik, dan menyebabkan apresiasi nilai tukar. Mekanisme
ini dijelaskan dalam teori Interest Rate Parity (IRP).
Ekspektasi
Inflasi :
Ekspektasi pasar terhadap inflasi masa depan dapat mempengaruhi nilai tukar
saat ini. Jika pelaku pasar mengantisipasi inflasi yang tinggi di masa depan,
mereka mungkin menjual mata uang domestik, menyebabkan depresiasi nilai tukar
bahkan sebelum inflasi aktual terjadi.
3.1.2
Pengaruh Nilai Tukar terhadap Inflasi
Sebaliknya,
nilai tukar juga mempengaruhi inflasi melalui beberapa mekanisme:
Exchange
Rate Pass-through:
Depresiasi mata uang domestik menyebabkan harga barang impor menjadi lebih
mahal dalam mata uang lokal. Fenomena ini, yang dikenal sebagai imported
inflation, dapat berkontribusi signifikan terhadap inflasi domestik, terutama
di negara-negara yang sangat bergantung pada impor.
Biaya
Input Produksi:
Depresiasi mata uang meningkatkan biaya input produksi yang diimpor, yang
kemudian dapat ditransfer ke konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi,
mendorong cost-push inflation.
Ekspektasi
dan Spiral Inflasi:
Depresiasi mata uang yang signifikan dapat memicu ekspektasi inflasi yang lebih
tinggi, mendorong pekerja untuk menuntut kenaikan upah dan perusahaan untuk
meningkatkan harga, menciptakan spiral inflasi yang dapat memperburuk situasi
ekonomi.
Dampak
terhadap Aggregate Demand:
Perubahan nilai tukar dapat mempengaruhi aggregate demand melalui dampaknya
terhadap ekspor neto. Depresiasi mata uang cenderung meningkatkan ekspor dan
mengurangi impor, yang dapat menyebabkan demand-pull inflation jika ekonomi
sudah beroperasi dekat dengan kapasitas penuh.
3.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Inflasi dan Nilai Tukar
3.2.1 Rezim Nilai Tukar
Jenis
rezim nilai tukar yang diadopsi suatu negara sangat mempengaruhi dinamika
hubungan inflasi dan nilai tukar:
Nilai
Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate):
Dalam rezim ini, otoritas moneter berkomitmen untuk mempertahankan nilai tukar
pada tingkat tertentu. Inflasi domestik yang tinggi dalam rezim nilai tukar
tetap dapat menyebabkan apresiasi riil mata uang, mengurangi daya saing, dan
berpotensi menimbulkan krisis neraca pembayaran jika tidak didukung oleh
fundamental ekonomi yang kuat.
Nilai
Tukar Mengambang (Floating Exchange Rate): Dalam rezim nilai tukar mengambang, nilai tukar dapat
menyesuaikan secara otomatis terhadap perubahan kondisi ekonomi, termasuk
inflasi. Inflasi yang tinggi biasanya menyebabkan depresiasi mata uang, yang
dapat membantu mempertahankan daya saing ekspor tetapi juga berpotensi
memperburuk inflasi melalui pass-through effect.
Rezim
Nilai Tukar Antara (Intermediate Regimes): Rezim seperti crawling peg, managed float, dan
currency band mencoba menyeimbangkan antara stabilitas nilai tukar dan
fleksibilitas dalam merespons guncangan ekonomi. Efektivitas rezim ini dalam
mengelola hubungan inflasi-nilai tukar tergantung pada kredibilitas kebijakan
dan konsistensi implementasi.
3.2.2 Struktur Ekonomi
Karakteristik
struktural ekonomi suatu negara juga mempengaruhi kekuatan dan arah hubungan
antara inflasi dan nilai tukar:
Keterbukaan
Ekonomi: Negara
dengan ekonomi yang sangat terbuka (rasio perdagangan terhadap PDB yang tinggi)
cenderung mengalami pass-through effect yang lebih kuat dari nilai tukar ke
inflasi dibandingkan dengan ekonomi yang lebih tertutup.
Diversifikasi
Ekspor dan Impor:
Ekonomi dengan struktur ekspor yang terdiversifikasi dan ketergantungan impor
yang lebih rendah cenderung kurang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan
efek inflasi terkait.
Rigiditas
Harga dan Upah:
Ekonomi dengan rigiditas harga dan upah yang tinggi mungkin mengalami
penyesuaian yang lebih lambat terhadap perubahan nilai tukar, mempengaruhi
dinamika inflasi jangka pendek.
Dolarisasi
Ekonomi: Di
negara-negara dengan tingkat dolarisasi yang tinggi (penggunaan mata uang asing
yang luas dalam transaksi domestik), perubahan nilai tukar dapat memiliki
dampak langsung yang signifikan terhadap harga domestik dan stabilitas
keuangan.
3.2.3 Kebijakan Moneter dan Fiskal
Kredibilitas
dan kerangka kebijakan makroekonomi secara keseluruhan sangat mempengaruhi
hubungan inflasi-nilai tukar:
Independensi
Bank Sentral: Bank sentral yang independen dengan komitmen kuat terhadap
stabilitas harga cenderung memiliki kredibilitas yang lebih tinggi, yang dapat
membantu menjangkar ekspektasi inflasi dan mengurangi volatilitas nilai tukar.
Inflation
Targeting:
Kerangka kebijakan moneter yang berfokus pada target inflasi eksplisit dapat
membantu mengelola ekspektasi inflasi dan meningkatkan transparansi kebijakan,
yang pada gilirannya dapat menstabilkan nilai tukar.
Disiplin
Fiskal: Defisit
fiskal yang tinggi dan berkelanjutan dapat menyebabkan tekanan inflasi dan
ketidakseimbangan eksternal, memperburuk volatilitas nilai tukar. Sebaliknya,
kebijakan fiskal yang prudent dapat mendukung stabilitas makroekonomi.
Koordinasi
Kebijakan:
Koordinasi yang efektif antara kebijakan moneter dan fiskal penting untuk
mengelola trade-off antara stabilitas harga domestik dan nilai tukar.
3.3 Perspektif Empiris: Bukti dari Berbagai
Negara
Studi
empiris tentang hubungan inflasi dan nilai tukar menunjukkan variasi yang
signifikan antar negara dan periode waktu:
3.3.1
Negara Maju vs Negara Berkembang
Negara
Maju: Secara umum,
negara maju menunjukkan pass-through effect yang lebih rendah dari nilai tukar
ke inflasi. Ini mungkin disebabkan oleh kredibilitas kebijakan moneter yang
lebih tinggi, struktur ekonomi yang lebih terdiversifikasi, dan pasar keuangan
yang lebih dalam.
Negara
Berkembang: Negara berkembang sering mengalami pass-through effect yang lebih
tinggi dan hubungan yang lebih volatile antara inflasi dan nilai tukar.
Fenomena ini terkait dengan ketergantungan impor yang lebih tinggi,
kredibilitas kebijakan yang lebih rendah, dan kerentanan terhadap sudden stops
dalam aliran modal.
3.3.2
Tren Temporal
Beberapa
studi menunjukkan bahwa kekuatan hubungan antara inflasi dan nilai tukar telah
berubah seiring waktu:
Penurunan
Pass-through Effect:
Selama beberapa dekade terakhir, banyak negara mengalami penurunan pass-through
effect dari nilai tukar ke inflasi, yang sebagian dapat dikaitkan dengan
peningkatan kredibilitas kebijakan moneter, penurunan tingkat inflasi global,
dan perubahan dalam struktur penetapan harga perusahaan multinasional.
Dampak
Globalisasi:
Integrasi ekonomi global yang meningkat telah mengubah dinamika harga dan
transmisi inflasi, dengan kompetisi global yang lebih tinggi terkadang
membatasi kemampuan perusahaan untuk meneruskan kenaikan biaya akibat
depresiasi mata uang.
3.3.3
Studi Kasus Spesifik
Krisis
Asia 1997-1998:
Selama krisis keuangan Asia, depresiasi mata uang yang tajam di negara-negara
seperti Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan menyebabkan lonjakan inflasi
yang signifikan, menunjukkan hubungan yang kuat antara nilai tukar dan inflasi
dalam konteks guncangan ekonomi yang besar.
Hyperinflation
di Amerika Latin:
Pengalaman hiperinflasi di beberapa negara Amerika Latin seperti Argentina,
Brasil, dan Bolivia pada 1980-an menunjukkan bagaimana dinamika inflasi-nilai
tukar dapat menjadi tidak terkendali dalam kondisi ketidakstabilan makroekonomi
yang ekstrem.
Krisis
Keuangan Global 2008:
Respon negara-negara terhadap krisis keuangan global menunjukkan variasi yang
signifikan dalam hubungan inflasi-nilai tukar, dengan beberapa negara mengalami
depresiasi mata uang yang substansial tanpa kenaikan inflasi yang sepadan,
menunjukkan kompleksitas hubungan ini dalam konteks modern.
3.4
Implikasi Kebijakan
Pemahaman
yang mendalam tentang hubungan inflasi dan nilai tukar memiliki implikasi
penting bagi pembuat kebijakan:
3.4.1
Pilihan Rezim Nilai Tukar
Pemilihan
rezim nilai tukar yang tepat harus mempertimbangkan karakteristik struktural
ekonomi, tujuan kebijakan moneter, dan trade-off antara stabilitas nilai tukar
dan fleksibilitas kebijakan. Tidak ada "satu ukuran untuk semua"
dalam hal ini, dan rezim yang optimal mungkin berbeda antar negara dan berubah
seiring waktu.
3.4.2
Kerangka Kebijakan Moneter
Bank
sentral perlu mempertimbangkan dampak nilai tukar dalam kerangka kebijakan
moneter mereka, bahkan jika fokus utama adalah stabilitas harga domestik. Ini
dapat melibatkan:
Inflation
Targeting Fleksibel:
Mempertimbangkan dampak nilai tukar dalam formulasi kebijakan moneter, meskipun
target utama tetap inflasi domestik.
Intervensi
Nilai Tukar: Dalam
beberapa kasus, intervensi di pasar valuta asing mungkin diperlukan untuk
mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan dan dampak inflasi yang
tidak diinginkan.
Kebijakan
Makroprudensial:
Menggunakan instrumen makroprudensial untuk mengelola risiko terkait nilai
tukar dalam sistem keuangan, terutama di negara-negara dengan ketidaksesuaian
mata uang yang signifikan.
3.4.3
Koordinasi Kebijakan Internasional
Dalam
ekonomi global yang saling terhubung, koordinasi kebijakan internasional dapat
membantu mengelola spillover effects dari kebijakan moneter dan nilai tukar:
Dialog
Multilateral:
Forum seperti G20, IMF, dan Bank for International Settlements (BIS) dapat
memfasilitasi dialog tentang implikasi lintas batas dari kebijakan nilai tukar
dan moneter.
Swap
Lines: Pengaturan
swap mata uang antar bank sentral dapat membantu mengurangi tekanan likuiditas
dan volatilitas nilai tukar selama periode stres pasar.
Pemantauan
Global: Pemantauan
dan peringatan dini terhadap ketidakseimbangan global dan risiko nilai tukar
dapat membantu mencegah krisis yang berpotensi merusak stabilitas harga.
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Hubungan
antara inflasi dan nilai tukar mata uang merupakan fenomena ekonomi yang
kompleks dan multidimensional. Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan,
beberapa kesimpulan utama dapat ditarik:
1.
Hubungan Dua Arah:
Inflasi dan nilai tukar memiliki hubungan dua arah yang saling mempengaruhi.
Inflasi domestik yang tinggi relatif terhadap mitra dagang cenderung
menyebabkan depresiasi mata uang dalam jangka panjang, sesuai dengan teori
Purchasing Power Parity. Sebaliknya, depresiasi mata uang dapat meningkatkan
tekanan inflasi melalui mekanisme pass-through, terutama di negara-negara
dengan ketergantungan impor yang tinggi.
2.
Konteks Spesifik: Kekuatan
dan arah hubungan antara inflasi dan nilai tukar sangat bergantung pada konteks
spesifik, termasuk rezim nilai tukar, struktur ekonomi, kredibilitas kebijakan
moneter, dan tingkat keterbukaan ekonomi. Tidak ada model tunggal yang dapat
menjelaskan dinamika ini di semua negara dan periode.
3.
Perubahan Temporal:
Hubungan antara inflasi dan nilai tukar telah mengalami perubahan seiring
waktu, dengan kecenderungan umum menuju pass-through effect yang lebih rendah
di banyak negara. Fenomena ini sebagian dapat dikaitkan dengan peningkatan
kredibilitas kebijakan moneter, globalisasi, dan perubahan dalam praktik
penetapan harga internasional.
4.
Implikasi Kebijakan:
Pemahaman yang tepat tentang hubungan inflasi-nilai tukar sangat penting untuk
desain kebijakan moneter dan nilai tukar yang efektif. Bank sentral perlu
mempertimbangkan trade-off antara stabilitas harga domestik dan nilai tukar
dalam kerangka kebijakan mereka.
5.
Pentingnya Koordinasi:
Koordinasi antara kebijakan moneter, fiskal, dan struktural penting untuk
mengelola hubungan inflasi-nilai tukar secara efektif. Pendekatan terisolasi
terhadap salah satu aspek dapat menyebabkan ketidakseimbangan dan
ketidakstabilan ekonomi.
4.2
Saran
Berdasarkan
analisis dan kesimpulan di atas, beberapa saran kebijakan dapat dirumuskan:
1.
Pendekatan Holistik:
Pembuat kebijakan harus mengadopsi pendekatan holistik dalam mengelola inflasi
dan nilai tukar, dengan mempertimbangkan interaksi kompleks antara keduanya dan
faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan tersebut.
2.
Fleksibilitas yang Terkelola:
Bagi banyak negara, terutama ekonomi terbuka kecil, rezim nilai tukar dengan
fleksibilitas yang terkelola (managed flexibility) mungkin menawarkan
keseimbangan yang baik antara stabilitas dan kemampuan beradaptasi terhadap
guncangan ekonomi.
3.
Peningkatan Kredibilitas:
Bank sentral harus terus berupaya meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter
melalui transparansi, konsistensi, dan komunikasi yang efektif. Kredibilitas
yang tinggi dapat membantu menjangkar ekspektasi inflasi dan mengurangi
volatilitas nilai tukar.
4.
Diversifikasi Ekonomi:
Negara-negara dengan ketergantungan tinggi pada sektor tertentu atau impor
harus berupaya untuk mendiversifikasi struktur ekonomi mereka untuk mengurangi
kerentanan terhadap guncangan nilai tukar dan inflasi.
5.
Penguatan Sistem Keuangan:
Memperkuat ketahanan sistem keuangan terhadap fluktuasi nilai tukar melalui
regulasi prudensial, pengelolaan risiko yang lebih baik, dan pengembangan pasar
keuangan domestik.
6.
Reformasi Struktural:
Implementasi reformasi struktural yang bertujuan meningkatkan fleksibilitas
ekonomi, efisiensi pasar, dan daya saing dapat membantu mengurangi sensitivitas
inflasi terhadap guncangan nilai tukar.
7.
Pemantauan dan Analisis:
Mengembangkan kapasitas untuk pemantauan dan analisis yang lebih baik terhadap
hubungan inflasi-nilai tukar, termasuk penggunaan model ekonometrik yang
canggih dan indikator leading untuk mengidentifikasi risiko yang muncul.
8.
Koordinasi International:
Berpartisipasi aktif dalam dialog dan koordinasi kebijakan internasional untuk
mengelola spillover effects dari kebijakan nilai tukar dan mengurangi risiko
ketidakstabilan global.
Dengan
mengadopsi pendekatan yang komprehensif dan berbasis bukti terhadap hubungan
inflasi-nilai tukar, pembuat kebijakan dapat berkontribusi pada stabilitas
makroekonomi yang lebih besar dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
DAFTAR
PUSTAKA
Agenor, P. R., &
Montiel, P. J. (2015). Development Macroeconomics. Princeton University Press.
Aizenman, J., Chinn, M.
D., & Ito, H. (2013). The "impossible trinity" hypothesis in an
era of global imbalances: Measurement and testing. Review of International
Economics, 21(3), 447-458.
Ball, L. M. (2006). Has
globalization changed inflation? NBER Working Paper No. 12687.
Benigno, G., &
Benigno, P. (2003). Price stability in open economies. The Review of Economic
Studies, 70(4), 743-764.
Arifin, S., &
Mayasya, S. (2018). Kebijakan Moneter, Nilai Tukar dan Inflasi di Indonesia:
Analisis Ekonometrika. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Bank Indonesia. (2023).
Laporan Kebijakan Moneter Triwulanan: Analisis Inflasi dan Nilai Tukar.
Jakarta: Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia.
Simorangkir, I., &
Suseno. (2021). Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar: Pengalaman Indonesia dan
Implikasinya pada Perekonomian. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.