ABSTRAK
Kelangsungan usatahani dan produksi padi sangat
ditentukan oleh kegairahan dan kesejahteraan petani padi dalam berusahatani
padi. Salah satu alat ukur yang dapat dipakai adalah Nilai Tukar Petani Padi
(NTP-Padi). Nilai tukar petani padi yang meningkat akan mendorong kegairahan
petani dalam berusahatani memproduksi padi. Dalam tahun 2006-2008, NTP-Padi di
Jawa Barat dan di Sumatera Utara menurun sedangkan di Sulawesi Selatan
menunjukkan peningkatan. Penelusuran lebih lanjut menunjukkan penurunan
NTP-Padi di Jawa Barat terutama disebabkan oleh penurunan NTP-Padi terhadap
konsumsi sementara NTPpadi terhadap biaya produksi dan modal cenderung
meningkat. Di Sumatera Utara, penurunan NTPPadi terjadi tidak hanya terhadap
barang konsumsi tetapi juga terhadap komponen biaya produksi. Sementara di Sulawesi
peningkatan NTP-Padi terjadi karena adanya peningkatan NTP-Padi terhadap semua
komponennya baik pada kelompok konsumsi maupun kelompok biaya produksi. Dari
analisis Nilai Tukar Subsisten Padi (NTS-Padi) menunjukkan bahwa secara
rata-rata usahatani padi memberikan kontribusi sebesar 56,42
persen dalam pemenuhan pengeluaran rumah tangga petani. Pengeluaran untuk
makanan merupakan pengeluaran terbesar rumah tangga sedangkan komunikasi
merupakan pengeluaran yang terendah. Sementara itu dalam biaya produksi, biaya
tenaga kerja merupakan komponen terbesar dalam biaya produksi usahatani padi,
sementara biaya input produksi lainnya (pajak) relatif kecil. Nilai tukar
petani padi cenderung fluktuatif antar bulan berada paling rendah pada bulan
April–Mei sejalan dengan masa panen padi dan harga padi pada nilai yang rendah,
sedangkan NTP-Padi tertinggi terjadi pada masa maceklik yaitu bulan
Desember-Januari. Kondisi ini memberikan implikasi bahwa: (a) peningkatan
produksi petani tidak selalu diikuti oleh peningkatan NTP dan bahkan cenderung
berakibat penurunan NTP karena pengukuran NTP hanya didasarkan kepada rasio
harga harga, (b) pentingnya menjaga efektivitas kebijakan harga dasar gabah
dalam rangka menjaga stabilitas harga jual padi petani, dan (c) perlunya pengembangan
sistem pendanaan untuk penundaan masa penjualan gabah petani. Peningkatan
kesejahteraan petani padi tidak hanya ditentukan oleh kebijakan dibidang
pertanian juga nonpertanian. Untuk itu kebijakan penetapan harga dasar gabah
harus selalu disesuaikan sejalan dengan pergerakan harga produk konsumsi.
Kata kunci : padi, nilai tukar
petani, kesejahteraan
PENDAHULUAN
Sektor
pertanian sebagai salah satu sektor pendukung perekonomian Indonesia merupakan
sektor yang relatif lebih tahan dan lebih fleksibel terhadap krisis ekonomi
dibandingkan sektor-sektor lainnya karena lebih mengandalkan pemanfaatan sumber
daya domestik daripada komponen impor.
Karenanya
sektor pertanian sangat berperan penting dalam pembangunan nasional antara lain
melalui penyediaan kebutuhan pangan pokok, perolehan devisa melalui ekspor,
penampung tenaga kerja khususnya di daerah pedesaan.
Berkaitan
dengan peranan sektor pertanian tersebut, maka erat kaitannya dengan suatu
pengukuran atau penilaian dari komponen sektor tersebut. Jika diartikan nilai
tukar merupakan nilai tukar untuk suatu barang dengan barang lain, jadi dapat
dikatakan suatu rasio harga (nominal atau indeks) dari dua barang yang berbeda.
Jika
dicontohkan, seperti perumpamaan berikut:
Dalam
rasio tersebut, menunjukkan bahwa untuk mendapatkan ½ unit Produk B harus
ditukar dengan 1 unit Produk A. Kesimpulannya dalam suatu ekonomi dengan SDA,
SDM, K, T, E dan input-input produksi lainnya yang ada tetap tidak berubah,
biaya alternative dari membuat ½ unit Produk B adalah harus mengorbankan (tidak
membuat) 1 unit produk A. Semakin kuat posisi tawar produk A, semakin tinggi
nilai rasio tersebut, sebaliknya juga akan semakin rendah.
Jika
sudah demikian, untuk mencapai orientasi pembangunan pertanian ke arah
perbaikan kesejahteraan pelaku pembangunan yaitu petani, maka sangat relevan
untuk mengkaji dampak pembangunan yang dilaksanakan terhadap perbaikan
kesejahteraan petani.
Adapun
salah satu indikator/alat ukur tingkat kesejahteraan petani dan keadaan
perekonomian pedesaan adalah nilai tukar petani (NTP).
Nilai
Tukar Petani (NTP) adalah sebagai rasio antara indeks harga yang diterima
petani (indeks harga jual output-nya) terhadap indeks harga yang dibayar petani
(indeks harga input yang digunakan untuk bertani), dimisalkan seperti pupuk.
Dalam
pengertian lain disebutkan NTP merupakan pengukur kemampuan/daya tukar sektor
pertanian terhadap sektor non pertanian. Fluktuasi NTP menunjukkan fluktuasi
kemampuan riil petani dan mengindikasikan kesejahteraan petani. NTP diperoleh
dari persentase rasio indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks
harga yang dibayar petani (IB).
Berdasarkan
rasio tersebut, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP, semakin baik profit
yang diterima petani atau semakin baik posisi pendapatan petani.
Jika
disederhanakan NTP hanya menunjukkan perbedaan antara harga output pertanian
dengan harga input pertanian, bukan harga barang-barang lain seperti makanan, pakaian,
dan lain sebagainya.
Beberapa
fungsi atau kegunaan nilai tukar petani antara lain:
1.
Berdasarkan sektor konsumsi rumah tangga dalam indeks harga yang dibayar petani
(IB), dapat dilihat fluktusi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh petani
yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat.
2.
Berdasarkan indeks harga yang diterima petani dapat dilihat fluktuasi harga
barang-barang yang dihasilkan petani. Indeks ini dipakai sebagai data penunjang
dalam penghitungan pendapatan sektor pertanian.
3.
Nilai tukar petani berguna untuk mengukur kemampuan tukar produk yang dijual
petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam memproduksi. Dengan demikian
NTP dapat dipakai sebagai salah satu indikator dalam menilai kesejahteraan
petani.
PEMBAHASAN
Pembangunan
pertanian pada dasarnya ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
terutama petani. Untuk itu dalam setiap tahapan kegiatan pembangunan pertanian
kesejahteraan petani selalu menjadi tujuan. Dalam Rencana Strategis Kementerian
Pertanian tahun 2010-2014 peningkatan kesejahteraan petani merupakan salah satu
dari empat target utama pembangunan pertanian (Kementan, 2010).
Masyarakat
miskin di perdesaan yang sebagian besar sebagai petani masih besar. Data BPS
(2012) menunjukkan jumlah penduduk miskin di perdesaan yaitu berjumlah 18,48
juta jiwa atau 15,12 persen terhadap total penduduk perdesaan. Secara khusus
perhatian terhadap kesejahteraan petani padi perlu menjadi perhatian, karena
berkaitan dengan masa depan usahatani padi dalam kesinambungan produksi
padi/beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. Sebagai komoditas pangan
strategis, komoditas padi memiliki sensivitas yang tinggi terhadap aspek
politis, ekonomis (Puslitbangtan, 2011). Oleh karena itu program peningkatan
produksi padi selalu menjadi menjadi prioritas dalam pembangunan pertanian.
Keberhasilan peningkatan produksi padi, tidak terlepas dari terobosan inovasi
teknologi. Sejalan dengan itu, Sumarno (2007) mengemukakan bahwa capaian
produksi pangan yang spektakuler yang selama ini terjadi adalah sebagai akibat
penerapan teknologi revolusi hijau, namun dibalik keberhasilan tersebut banyak
kalangan juga menyampaikan kritik atas keberhasilan revolusi hijau berkaitan
aspek lingkungan, sehingga tantangan usahatani padi kedepan berkaitan dengan
aspek lingkungan tersebut. Dalam kaitan aspek lingkungan tersebut, Molden
(2002); Katumi et al. (2002), dan Bouman (2003) mengemukakan bahwa produksi
petanian dimasa mendatang akan terus dipengaruhi oleh anomali dan
ketidakpastian iklim yang berdampak terhadap gejolak pasokan air, sehingga
menyebabkan terjadinya kekeringan dan banjir yang akan terus menjadi ancaman
bagi usahatani.
Berbagai
kebijakan telah diterapkan pemerintah dalam rangka memperbaiki peningkatan
produksi padi seperti dukungan penyediaan prasarana produksi seperti (irigasi,
jalan usahatani), pemberian berbagai bantuan dan subsidi sarana produksi
(benih, pupuk), dukungan penyuluhan dan pembinaan dalam usahatani padi, panen
dan pascapanen serta pemberian/penerapan kebijakan harga dasar gabah. Namun
demikian aspek penting dari keberlanjutan produksi padi adalah tingkat
kesejahteraan pelaku usahatani padi yaitu
petani padi. Keberhasilan telah banyak dicapai, namun banyak kalangan menilai
hal itu belum cukup karena pembangunan pertanian selama ini lebih condong ke
aspek produksi, sementara petani masih sulit memperbaiki posisi sosial
ekonominya. Pernyataan ini didukung kajian para pakar, bahwa telah terjadi
peningkatan produksi hasil pertanian melalui berbagai rekayasa teknologi dan
kelembagaan, tetapi tidak meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani
(Dillon et al., 1999; Simatupang dan Maulana, 1998).
Peningkatan
produksi dan pendapatan petani padi belum tentu dapat meningkatkan
kesejahteraan petani padi, apabila daya beli petani padi tersebut tidak meningkat.
Hal ini berkaitan dengan daya beli dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah
tangganya. Tingkat kesejahteraan petani padi secara relatif meningkat apabila
daya beli pendapatan dari usahatani padi meningkat. BPS telah mengembangkan
alat ukur untuk menilai daya beli tersebut dalam bentuk Nilai Tukar Petani
(NTP). Makalah ini akan menganalisis dinamika nilai tukar petani di beberapa
lokasi contoh di Indonesia dan faktor yang mempengaruhinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumarno. 2007. Teknologi
Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan Masa Depan. Buletin IPTEK Tanaman
Pangan, Vol 2(2): 131-153.
Bouman, BAM. 2003.
Examining the Water Shortage Problem in Rice System, Water Saving Irigation
Techlogies. Science Inovation and Impact for Livelihood, IRRI : 519- 535.
Molden, D. 2002.
MeetingWater Needs for Food and Everimomental Security in. Dalam Yayima, MK.
Okado and Matsumoto, (eds) water for sustainable Agriculture in Developing
Region. More Crop for every scarehop.
Katumi, M., T. Oki, Y.
Agata and S. Kane, 2002. Global Water Recources and Future Projection in:
Yayima, M K., Okado and Matsumoto, (eds) Water for Sustainable Agriculture in
Developing Region. More Crop for Every Scare Crop JIRCAS Internasional
Symposium Series. No 10:xix- xxii.
Buletin Nilai Tukar
Petani. 2003. Volume 1, Nomer 1, Pusat Data dan Informasi Pertanian Departemen Pertanian.
Tambunan, Tulus T.H. 2001. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia
Hill, Hal. 2002. Ekonomi Indonesia: Edisi Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.