Kebijakan upah minimum adalah instrumen utama dalam perlindungan tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin standar hidup layak bagi pekerja, terutama mereka yang berada di sektor dengan daya tawar rendah.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan dilema ekonomi: apakah kenaikan upah minimum akan mendorong kesejahteraan tanpa mengorbankan kesempatan kerja, atau justru memicu pengangguran akibat beban biaya tambahan bagi pengusaha? Artikel ini membahas secara kritis dampak upah minimum terhadap permintaan tenaga kerja dengan menelaah teori ekonomi serta hasil studi empiris dari Indonesia dan beberapa negara lain. Pembahasan mencakup bagaimana perusahaan menyesuaikan strategi perekrutan, perbedaan efek antar sektor, dan implikasi terhadap pekerja rentan di sektor informal. Dengan pendekatan analitis dan berbasis data, artikel ini bertujuan memberikan pemahaman yang seimbang serta menyarankan kebijakan yang adaptif terhadap kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia.Kata Kunci
Upah
Minimum, Permintaan Tenaga Kerja, Ketenagakerjaan, Kebijakan Publik, Sektor
Informal, Produktivitas
Pendahuluan
Kenaikan
upah minimum hampir selalu memicu perdebatan tajam di antara ekonom, pelaku
usaha, serikat buruh, dan pembuat kebijakan. Di satu sisi, buruh dan kelompok
advokasi mendesak pemerintah agar menaikkan upah minimum sebagai bentuk
keadilan sosial dan perlindungan terhadap inflasi. Di sisi lain, pelaku
industri, terutama di sektor padat karya, khawatir bahwa kenaikan upah dapat
memperburuk beban operasional dan mengancam keberlangsungan usaha mereka, yang
pada akhirnya bisa mengurangi penyerapan tenaga kerja.
Sementara
tujuan utama dari upah minimum adalah melindungi pekerja dari praktik
eksploitasi dan memastikan standar hidup yang lebih manusiawi, ada kekhawatiran
bahwa kebijakan ini dapat menciptakan disinsentif bagi perusahaan untuk
merekrut tenaga kerja baru. Hal ini terutama dikhawatirkan terjadi pada sektor
informal, UMKM, atau industri padat karya yang memiliki margin keuntungan tipis
dan fleksibilitas terbatas dalam menyesuaikan struktur biaya.
Berbagai
studi di dalam dan luar negeri menunjukkan hasil yang beragam. Sebagian
menyatakan bahwa kenaikan upah minimum tidak berpengaruh signifikan terhadap
tingkat pekerjaan, terutama di negara-negara dengan pasar kerja yang
terorganisasi dan produktivitas tinggi. Namun, di negara-negara berkembang
seperti Indonesia, struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor informal dan
ketimpangan produktivitas antar sektor membuat efek dari kebijakan ini menjadi
sangat kompleks dan seringkali tidak linier.
Permintaan
tenaga kerja sendiri merupakan fungsi dari produktivitas, biaya tenaga kerja,
dan prospek keuntungan perusahaan. Jika biaya tenaga kerja meningkat secara
signifikan akibat kebijakan upah minimum, perusahaan mungkin akan mengurangi
jumlah pekerja, mempercepat otomatisasi, atau beralih ke bentuk kerja informal.
Namun di sisi lain, dengan pendapatan yang lebih tinggi, pekerja dapat
meningkatkan konsumsi, yang pada akhirnya dapat mendorong permintaan agregat
dan menciptakan lapangan kerja baru.
Melalui artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana kebijakan upah minimum berdampak pada dinamika permintaan tenaga kerja di Indonesia dan negara lain, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi arah dan besaran dampaknya. Artikel ini juga akan menyoroti bagaimana kelompok pekerja tertentu – seperti perempuan, pekerja muda, dan pekerja berpendidikan rendah – merespons perubahan upah minimum, dan bagaimana pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih kontekstual, adil, dan efektif dalam menciptakan keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan ekonomi.
Permasalahan
Kebijakan
upah minimum secara konseptual dimaksudkan untuk melindungi hak pekerja, namun
implementasinya sering kali menimbulkan konsekuensi yang tidak sepenuhnya
diantisipasi. Permasalahan inti yang dibahas dalam artikel ini dapat dirumuskan
dalam beberapa pertanyaan kunci:
1. Bagaimana
dampak kebijakan upah minimum terhadap permintaan tenaga kerja secara agregat
dan sektoral?
Apakah kenaikan upah minimum menyebabkan
penurunan perekrutan tenaga kerja di sektor tertentu, atau justru meningkatkan
efisiensi dan produktivitas tenaga kerja yang ada?
2. Sejauh
mana efek dari kebijakan upah minimum bersifat seragam atau berbeda-beda
tergantung karakteristik wilayah, jenis usaha, dan tingkat pendidikan tenaga
kerja?
Adakah bukti empiris bahwa dampak negatif
atau positif upah minimum bergantung pada tingkat pendapatan dasar, biaya
hidup, atau kekuatan pasar tenaga kerja lokal?
3. Apa
implikasi kebijakan upah minimum terhadap sektor informal, pekerja tidak
terdidik, dan kelompok rentan lainnya?
Apakah kelompok ini lebih terdampak secara
negatif, atau justru memperoleh manfaat lebih besar dari perlindungan
kebijakan?
4. Apakah
terdapat perbedaan dalam jangka pendek dan jangka panjang mengenai bagaimana
upah minimum memengaruhi struktur dan jumlah tenaga kerja?
Misalnya, apakah perusahaan cenderung
melakukan adaptasi jangka panjang melalui teknologi, efisiensi, atau pengalihan
model bisnis?
Permasalahan-permasalahan
ini penting untuk dikaji secara objektif karena menyangkut keseimbangan antara
efisiensi ekonomi dan keadilan sosial dalam pasar tenaga kerja.
Landasan
Teori
Dalam
kerangka ekonomi neoklasik, pasar tenaga kerja bekerja berdasarkan prinsip
penawaran dan permintaan. Ketika harga (dalam hal ini, upah) ditetapkan di atas
tingkat keseimbangan pasar, maka akan terjadi surplus tenaga kerja – yaitu
pengangguran. Dengan kata lain, perusahaan akan menurunkan jumlah tenaga kerja
yang diserap karena biaya menjadi terlalu tinggi, sementara lebih banyak
individu ingin bekerja karena upah lebih menarik.
Namun,
model ini terlalu menyederhanakan kenyataan di lapangan. Dalam kenyataannya,
banyak pasar tenaga kerja tidak sepenuhnya kompetitif. Model monopsoni,
misalnya, menggambarkan situasi di mana satu atau beberapa pemberi kerja
memiliki kekuatan pasar dan dapat menentukan upah lebih rendah dari nilai
marjinal tenaga kerja. Dalam konteks ini, kebijakan upah minimum justru dapat
meningkatkan efisiensi dan kesejahteraan tanpa menyebabkan pengurangan lapangan
kerja secara signifikan.
Selain
itu, teori efisiensi upah (efficiency wage theory) menyatakan bahwa upah
yang lebih tinggi dapat meningkatkan produktivitas pekerja, mengurangi
turnover, dan meningkatkan loyalitas serta motivasi. Dalam kerangka ini,
kenaikan upah minimum berpotensi meningkatkan output tenaga kerja per unit,
yang dalam jangka panjang dapat mengimbangi biaya tambahan bagi perusahaan.
Pendekatan
lain adalah segmented labor market theory, yang membagi pasar tenaga
kerja menjadi sektor formal dan informal. Dalam pasar yang tersegmentasi, upah
minimum hanya berlaku di sektor formal, sementara sektor informal tidak terikat
pada regulasi tersebut. Ini menciptakan potensi pergeseran tenaga kerja dari
sektor formal ke informal ketika upah minimum naik secara signifikan, karena
perusahaan tidak mampu mempertahankan seluruh tenaga kerja dalam struktur biaya
yang baru.
Beberapa
model juga memperhitungkan elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap upah,
yaitu seberapa besar perubahan dalam jumlah tenaga kerja yang diminta akibat
perubahan upah. Dalam sektor dengan elastisitas tinggi (misalnya manufaktur
padat karya), kenaikan upah bisa menyebabkan penurunan besar dalam perekrutan.
Sebaliknya, dalam sektor dengan elastisitas rendah (misalnya sektor jasa dengan
keterampilan khusus), dampaknya relatif kecil.
Dengan
demikian, dampak kebijakan upah minimum tidak dapat dinilai secara mutlak. Ia
sangat tergantung pada struktur pasar, karakteristik perusahaan, dan profil
demografis pekerja. Inilah yang menjadikan kajian tentang upah minimum sebagai
topik yang relevan, rumit, dan memerlukan pendekatan multi-disipliner.
Pembahasan
1.
Dampak Upah Minimum di Indonesia: Bukti Empiris dan Realita Lapangan
Indonesia
merupakan negara dengan struktur ekonomi yang sangat beragam, dari sektor padat
karya berbasis manufaktur hingga pertanian subsisten dan jasa informal. Karena
itu, kebijakan upah minimum memiliki dampak yang sangat bervariasi antar
wilayah dan sektor.
Beberapa
studi domestik menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum secara nasional atau
provinsi cenderung berdampak negatif terhadap permintaan tenaga kerja
formal, terutama di sektor yang padat tenaga kerja dan berorientasi pada
ekspor.
Susilowati
dan Wahyuni (2018), misalnya, menemukan bahwa kenaikan upah minimum di sektor
industri manufaktur menyebabkan penurunan penyerapan tenaga kerja di beberapa
provinsi di Pulau Jawa. Perusahaan cenderung merespons dengan pengurangan
jam kerja, otomatisasi, atau relokasi pabrik ke daerah dengan upah lebih
rendah. Dalam jangka panjang, ini bisa mengarah pada stagnasi pertumbuhan
lapangan kerja formal di sektor tersebut.
Namun
demikian, tidak semua sektor merespons dengan cara yang sama. Studi Budiarty
(2012) di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa industri pengolahan skala menengah
mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja setelah kenaikan upah minimum.
Hal ini dimungkinkan karena sektor tersebut memiliki permintaan yang kuat dan
dapat mentransfer sebagian beban biaya ke harga jual tanpa kehilangan daya
saing.
Secara
umum, UMKM dan sektor informal lebih rentan terhadap dampak negatif
kebijakan upah minimum. Karena mayoritas dari mereka beroperasi dengan margin
laba yang tipis dan akses terbatas terhadap kredit, peningkatan upah minimum
sering kali tidak dapat diikuti tanpa mengurangi jumlah pekerja atau beralih ke
model kerja informal yang tidak tercatat secara resmi.
Di
sisi lain, ada dampak makroekonomi yang kadang terlupakan: ketika upah
minimum naik, pendapatan rumah tangga juga meningkat, yang bisa meningkatkan
daya beli masyarakat. Dalam jangka menengah, konsumsi domestik yang lebih
tinggi dapat menciptakan permintaan agregat baru dan membuka lapangan kerja
tambahan – terutama di sektor jasa dan distribusi.
2.
Studi Kasus Internasional: Amerika Serikat, Jerman, dan Negara Berkembang
Studi
dari negara maju dan berkembang memberikan perspektif penting tentang
variabilitas dampak upah minimum.
Amerika
Serikat
Studi
legendaris oleh Card dan Krueger (1994) menemukan bahwa kenaikan upah minimum
di negara bagian New Jersey tidak menyebabkan pengurangan tenaga kerja
di industri restoran cepat saji – bahkan dibandingkan dengan negara bagian
tetangga, Pennsylvania. Temuan ini menjadi titik balik dalam literatur ekonomi
karena menantang asumsi klasik bahwa upah minimum selalu menyebabkan
pengangguran.
Namun,
hasil ini tidak seragam di seluruh negara bagian. Beberapa studi lanjutan
menunjukkan bahwa sektor dengan elastisitas permintaan tenaga kerja yang
tinggi, seperti manufaktur ringan dan jasa transportasi, mengalami
pengurangan pekerjaan atau pergeseran ke kontrak kerja yang lebih fleksibel.
Jerman
Penerapan
upah minimum nasional di Jerman pada 2015 menjadi studi kasus penting di Eropa.
Sebelum kebijakan ini, Jerman tidak memiliki upah minimum nasional, dan pasar
kerja sangat bergantung pada perjanjian industri dan serikat pekerja.
Bossler
et al. (2024) menunjukkan bahwa setelah upah minimum diperkenalkan, terjadi penurunan
signifikan dalam jumlah “minijobs” (pekerjaan paruh waktu berpenghasilan
rendah), tetapi tidak berdampak besar pada jam kerja secara keseluruhan.
Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan mengatur ulang struktur kerja tanpa
harus mengurangi jumlah pekerja secara drastis.
Namun,
studi Moog (2024) mengungkap bahwa upah minimum mendorong migrasi internal
dari wilayah dengan upah rendah ke wilayah yang menawarkan peluang kerja formal
lebih banyak. Ini menunjukkan bahwa kebijakan upah minimum bisa memicu
ketimpangan regional jika tidak disertai dengan strategi pembangunan yang
merata.
Negara
Berkembang
Di
negara berkembang, struktur ekonomi cenderung dualistik – antara sektor modern
dan sektor informal. Dalam konteks ini, kenaikan upah minimum sering kali
menyebabkan “informalisasi” tenaga kerja, yaitu pergeseran dari pekerjaan
formal ke informal.
Studi
oleh World Bank di beberapa negara Asia dan Amerika Latin menunjukkan bahwa
upah minimum yang terlalu tinggi dibandingkan produktivitas lokal dapat
menciptakan hambatan masuk ke pasar kerja formal bagi pekerja muda dan tidak
berpendidikan tinggi.
3.
Dampak Heterogen Berdasarkan Demografi dan Sektor
Satu hal yang sangat penting dalam pembahasan ini adalah bahwa dampak upah minimum sangat tergantung pada kelompok demografis.
- Pekerja Muda: Kenaikan upah minimum dapat mempersulit mereka masuk ke pasar kerja, karena mereka belum memiliki pengalaman atau produktivitas yang cukup untuk “mengimbangi” biaya upah tersebut.
- Pekerja Perempuan: Dalam beberapa konteks, perempuan lebih banyak bekerja di sektor-sektor berupah rendah. Sehingga upah minimum dapat meningkatkan pendapatan mereka, tapi juga bisa meningkatkan risiko diskriminasi atau seleksi ketat oleh perusahaan.
- Pekerja Tidak Terdidik: Kelompok ini sering kali berada pada posisi paling rentan. Dalam banyak kasus, mereka justru tersingkir dari pasar kerja formal ketika upah minimum dinaikkan tanpa disertai peningkatan keterampilan atau pelatihan kerja.
- Wilayah Tertinggal: Di daerah dengan produktivitas rendah, seperti sebagian wilayah timur Indonesia, upah minimum yang seragam secara nasional bisa tidak sesuai dengan kondisi lokal. Ini dapat memicu pengangguran struktural atau mendorong pengusaha keluar dari pasar.
Dampak
terhadap Sektor Informal dan Kelompok Rentan
1.
Pergeseran dari Formal ke Informal
Di
banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, struktur ekonomi tidak sepenuhnya
terintegrasi secara formal. Berdasarkan data BPS, lebih dari 58% pekerja
Indonesia pada 2023 berada di sektor informal — sebuah realitas ekonomi yang
tidak bisa diabaikan dalam konteks kebijakan upah minimum.
Ketika upah minimum dinaikkan tanpa mempertimbangkan kapasitas produktivitas usaha mikro dan kecil, banyak pengusaha cenderung menghindari regulasi dan beralih ke model kerja informal. Hal ini mencakup:
- Merekrut tenaga kerja tanpa kontrak resmi.
- Tidak mendaftarkan pekerja ke sistem jaminan sosial.
- Membayar upah di bawah standar minimum.
Fenomena
ini telah diamati dalam studi oleh Maulidina (2018), yang menunjukkan bahwa di
Jawa Timur, kenaikan upah minimum mendorong penurunan penyerapan tenaga
kerja formal dan memperluas sektor informal, terutama di kalangan usaha
mikro.
Dengan
kata lain, bukannya meningkatkan kesejahteraan pekerja, kebijakan upah minimum
yang tidak responsif terhadap realitas lokal bisa membalikkan tujuan awalnya,
terutama jika tidak diikuti dengan pengawasan yang kuat dan insentif bagi
pelaku usaha untuk tetap berada di sektor formal.
2.
Pekerja Perempuan dan Pekerja Muda
Kelompok
rentan lainnya adalah perempuan dan kaum muda, yang sering kali berada
di segmen pekerjaan bergaji rendah, tidak tetap, atau paruh waktu.
- Perempuan: Di sektor tekstil, garmen, dan alas kaki – salah satu penyerap tenaga kerja perempuan terbesar di Indonesia – kenaikan upah minimum kadang direspons perusahaan dengan pengurangan shift kerja, rasionalisasi tenaga kerja, atau relokasi pabrik ke negara lain dengan biaya tenaga kerja lebih rendah.
- Pekerja muda: Banyak lulusan SMA atau SMK yang belum memiliki pengalaman kerja menghadapi kesulitan masuk ke pasar kerja formal ketika upah minimum meningkat. Perusahaan menjadi lebih selektif dan cenderung merekrut pekerja berpengalaman agar produktivitas sebanding dengan biaya.
Hasilnya
adalah peningkatan pengangguran terbuka di kalangan muda, atau
peningkatan proporsi mereka yang bekerja di sektor informal sebagai pekerja
lepas, ojek online, atau pekerjaan fleksibel lainnya tanpa perlindungan sosial.
3.
Ketimpangan Wilayah dan Daya Saing Lokal
Di
negara sebesar Indonesia, perbedaan produktivitas antar wilayah sangat
mencolok. Misalnya, upah minimum di DKI Jakarta jauh lebih tinggi
dibandingkan provinsi seperti NTT atau Bengkulu, seiring dengan perbedaan biaya
hidup.
Namun,
ketika standar upah minimum diseragamkan secara nasional atau naik secara
serempak di seluruh provinsi tanpa memperhatikan tingkat produktivitas lokal,
maka wilayah-wilayah dengan daya saing rendah akan terdampak lebih keras. Usaha
lokal tidak mampu membayar upah sesuai standar nasional dan akhirnya berhenti
mempekerjakan secara formal.
Alih-alih
mempersempit kesenjangan antarwilayah, kebijakan seperti ini berisiko memperlebar
ketimpangan regional, dengan membuat daerah maju semakin menarik bagi
tenaga kerja, dan daerah tertinggal kehilangan sumber daya manusianya karena
migrasi ekonomi.
4.
Aspek Psikologis dan Sosial
Selain
dampak ekonomi langsung, ada pula dampak sosial dan psikologis yang
harus diperhatikan. Kenaikan upah minimum yang tidak disertai peningkatan
kesempatan kerja bisa menimbulkan:
- Frustrasi di kalangan pencari kerja muda.
- Penurunan motivasi dalam pelatihan keterampilan karena realitas lapangan kerja tetap sempit.
- Ketegangan antara pengusaha dan pekerja, terutama jika pengusaha tidak mampu mengikuti regulasi.
Di
sisi lain, bila upah minimum diterapkan secara tepat sasaran dan dengan
pengawasan yang kuat, rasa keadilan dan martabat kerja dapat meningkat.
Ini berdampak positif terhadap loyalitas, retensi tenaga kerja, dan
produktivitas.
5.
Peran Pemerintah dan Kebijakan Pendukung
Untuk
mengurangi dampak negatif terhadap sektor informal dan kelompok rentan,
kebijakan upah minimum sebaiknya tidak berdiri sendiri. Harus ada strategi
pendukung seperti:
- Subsidi upah untuk UMKM di sektor prioritas.
- Peningkatan keterampilan dan pelatihan kerja untuk pekerja muda.
- Skema insentif bagi perusahaan yang merekrut tenaga kerja baru atau mempertahankan pekerja dari kelompok rentan.
- Diferensiasi upah minimum sektoral dan regional berbasis data produktivitas.
Hal
ini sejalan dengan pendekatan adaptif dan kontekstual dalam kebijakan
ketenagakerjaan, yang tidak memaksakan satu standar untuk semua wilayah atau
sektor.
Kesimpulan
Kebijakan
upah minimum merupakan alat intervensi pemerintah yang kompleks. Di satu sisi,
kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, menjamin
keadilan sosial, dan melindungi kelompok berpendapatan rendah. Di sisi lain,
jika tidak dirancang dengan hati-hati dan disesuaikan dengan kondisi pasar
tenaga kerja, kebijakan ini bisa menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan,
seperti pengurangan permintaan tenaga kerja, pergeseran ke sektor informal,
atau diskriminasi terhadap kelompok rentan.
Studi-studi
di Indonesia menunjukkan bahwa dampak kenaikan upah minimum terhadap permintaan
tenaga kerja bersifat heterogen. Sektor padat karya dan UMKM lebih
rentan terhadap tekanan biaya, sedangkan sektor formal yang lebih produktif
cenderung lebih adaptif. Selain itu, kelompok seperti pekerja muda, perempuan,
dan mereka yang berpendidikan rendah sering kali mengalami kesulitan yang lebih
besar dalam memasuki atau bertahan di pasar kerja formal.
Pengalaman
dari negara lain seperti Amerika Serikat dan Jerman juga menunjukkan bahwa
dampak upah minimum sangat tergantung pada struktur pasar tenaga kerja,
kekuatan institusi, dan desain kebijakan. Tidak ada satu pendekatan tunggal
yang cocok untuk semua negara atau wilayah.
Dengan
demikian, pemahaman yang mendalam terhadap konteks lokal, elastisitas tenaga
kerja, dan kapasitas produktivitas sangat penting dalam merancang kebijakan
upah minimum yang tidak hanya adil secara sosial tetapi juga efisien secara
ekonomi.
Saran
Desain Upah Minimum yang Fleksibel dan Kontekstual
Pemerintah sebaiknya menghindari pendekatan seragam secara nasional dan mulai mempertimbangkan penetapan upah minimum berdasarkan wilayah, sektor industri, dan tingkat produktivitas. Ini akan mencegah beban yang tidak proporsional pada usaha kecil dan menengah di daerah dengan daya saing rendah.- Perkuat Data dan Pengawasan.Penetapan upah minimum harus berbasis data aktual, termasuk produktivitas tenaga kerja, biaya hidup, dan elastisitas permintaan tenaga kerja di sektor-sektor utama. Pemerintah juga harus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum agar regulasi tidak menjadi simbolis.
- Integrasikan Pelatihan dan Skema Insentif.Untuk mengurangi dampak negatif terhadap pekerja muda dan kelompok rentan, kebijakan upah minimum perlu disertai program pelatihan kerja, sertifikasi keterampilan, dan insentif bagi perusahaan yang merekrut tenaga kerja dari kelompok ini.
- Pendekatan Kolaboratif antara Pemerintah, Pengusaha, dan Serikat Buruh.Proses penetapan dan revisi upah minimum harus melibatkan dialog sosial yang aktif. Keterlibatan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha akan menciptakan kebijakan yang lebih diterima dan berkelanjutan.
- Lakukan Evaluasi Berkala.Dampak kebijakan upah minimum harus dievaluasi secara berkala, baik secara makro maupun mikro, untuk melihat efek jangka pendek dan panjang. Hasil evaluasi ini perlu digunakan untuk perbaikan kebijakan secara dinamis.
Daftar
Pustaka
- Susilowati,
L., & Wahyuni, D. (2018). Pengaruh Upah
Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Bidang Industri di Indonesia. Equilibrium:
Jurnal Ekonomi-Manajemen-Akuntansi, 16(1), 1–15.
- Gunawan,
B. T., & Kurniawati, A. (2017). Pengaruh Upah
Minimum terhadap Transisi Individu dalam Pasar Kerja. Jurnal Riset
Ekonomi dan Manajemen, 17(1), 55–68.
- Budiarty,
I. (2012). Dampak Upah Minimum di Pasar Tenaga
Kerja Industri Pengolahan Provinsi Lampung. Jurnal Ekonomi Pembangunan,
13(1), 1–12.
- Bossler,
M., Liang, Y., & Schank, T. (2024). The Devil is
in the Details: Heterogeneous Effects of the German Minimum Wage on
Working Hours and Minijobs. arXiv preprint arXiv:2403.17206.
- Moog,
A. (2024). Internal Migration after a Uniform
Minimum Wage Introduction. arXiv preprint arXiv:2404.19590.
- Card,
D., & Krueger, A. B. (1994). Minimum Wages and
Employment: A Case Study of the Fast-Food Industry in New Jersey and
Pennsylvania. American Economic Review, 84(4), 772–793.
- Maulidina,
D. (2018). Dampak Kenaikan Upah Minimum
terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Jawa Timur. Jurnal Ekonomi dan
Kebijakan Publik, 9(2), 123–136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.