.

Minggu, 18 Mei 2025

Upah Minimum dan Dampaknya terhadap Permintaan Tenaga Kerja

Oleh  :Muhammad Zhafran Zahran (G19)

Abstrak

        Kebijakan upah minimum adalah instrumen utama dalam perlindungan tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin standar hidup layak bagi pekerja, terutama mereka yang berada di sektor dengan daya tawar rendah.

Namun, kebijakan ini juga menimbulkan dilema ekonomi: apakah kenaikan upah minimum akan mendorong kesejahteraan tanpa mengorbankan kesempatan kerja, atau justru memicu pengangguran akibat beban biaya tambahan bagi pengusaha? Artikel ini membahas secara kritis dampak upah minimum terhadap permintaan tenaga kerja dengan menelaah teori ekonomi serta hasil studi empiris dari Indonesia dan beberapa negara lain. Pembahasan mencakup bagaimana perusahaan menyesuaikan strategi perekrutan, perbedaan efek antar sektor, dan implikasi terhadap pekerja rentan di sektor informal. Dengan pendekatan analitis dan berbasis data, artikel ini bertujuan memberikan pemahaman yang seimbang serta menyarankan kebijakan yang adaptif terhadap kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia.


Kata Kunci

Upah Minimum, Permintaan Tenaga Kerja, Ketenagakerjaan, Kebijakan Publik, Sektor Informal, Produktivitas


Pendahuluan

Kenaikan upah minimum hampir selalu memicu perdebatan tajam di antara ekonom, pelaku usaha, serikat buruh, dan pembuat kebijakan. Di satu sisi, buruh dan kelompok advokasi mendesak pemerintah agar menaikkan upah minimum sebagai bentuk keadilan sosial dan perlindungan terhadap inflasi. Di sisi lain, pelaku industri, terutama di sektor padat karya, khawatir bahwa kenaikan upah dapat memperburuk beban operasional dan mengancam keberlangsungan usaha mereka, yang pada akhirnya bisa mengurangi penyerapan tenaga kerja.

Upah minimum adalah jumlah upah terendah yang secara legal harus dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pekerjanya. Di Indonesia, kebijakan ini diatur melalui Peraturan Pemerintah dan ditetapkan setiap tahun oleh gubernur masing-masing provinsi. Penentuan upah minimum biasanya mempertimbangkan variabel seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan hidup layak (KHL). Namun dalam praktiknya, dinamika politik dan tekanan dari berbagai pihak sering kali memengaruhi proses penetapan upah.

Sementara tujuan utama dari upah minimum adalah melindungi pekerja dari praktik eksploitasi dan memastikan standar hidup yang lebih manusiawi, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat menciptakan disinsentif bagi perusahaan untuk merekrut tenaga kerja baru. Hal ini terutama dikhawatirkan terjadi pada sektor informal, UMKM, atau industri padat karya yang memiliki margin keuntungan tipis dan fleksibilitas terbatas dalam menyesuaikan struktur biaya.

Berbagai studi di dalam dan luar negeri menunjukkan hasil yang beragam. Sebagian menyatakan bahwa kenaikan upah minimum tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pekerjaan, terutama di negara-negara dengan pasar kerja yang terorganisasi dan produktivitas tinggi. Namun, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, struktur ekonomi yang didominasi oleh sektor informal dan ketimpangan produktivitas antar sektor membuat efek dari kebijakan ini menjadi sangat kompleks dan seringkali tidak linier.

Permintaan tenaga kerja sendiri merupakan fungsi dari produktivitas, biaya tenaga kerja, dan prospek keuntungan perusahaan. Jika biaya tenaga kerja meningkat secara signifikan akibat kebijakan upah minimum, perusahaan mungkin akan mengurangi jumlah pekerja, mempercepat otomatisasi, atau beralih ke bentuk kerja informal. Namun di sisi lain, dengan pendapatan yang lebih tinggi, pekerja dapat meningkatkan konsumsi, yang pada akhirnya dapat mendorong permintaan agregat dan menciptakan lapangan kerja baru.

Melalui artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana kebijakan upah minimum berdampak pada dinamika permintaan tenaga kerja di Indonesia dan negara lain, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi arah dan besaran dampaknya. Artikel ini juga akan menyoroti bagaimana kelompok pekerja tertentu – seperti perempuan, pekerja muda, dan pekerja berpendidikan rendah – merespons perubahan upah minimum, dan bagaimana pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih kontekstual, adil, dan efektif dalam menciptakan keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan ekonomi.


Permasalahan

Kebijakan upah minimum secara konseptual dimaksudkan untuk melindungi hak pekerja, namun implementasinya sering kali menimbulkan konsekuensi yang tidak sepenuhnya diantisipasi. Permasalahan inti yang dibahas dalam artikel ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan kunci:

1. Bagaimana dampak kebijakan upah minimum terhadap permintaan tenaga kerja secara agregat dan sektoral?

Apakah kenaikan upah minimum menyebabkan penurunan perekrutan tenaga kerja di sektor tertentu, atau justru meningkatkan efisiensi dan produktivitas tenaga kerja yang ada?

2. Sejauh mana efek dari kebijakan upah minimum bersifat seragam atau berbeda-beda tergantung karakteristik wilayah, jenis usaha, dan tingkat pendidikan tenaga kerja?

Adakah bukti empiris bahwa dampak negatif atau positif upah minimum bergantung pada tingkat pendapatan dasar, biaya hidup, atau kekuatan pasar tenaga kerja lokal?

3.    Apa implikasi kebijakan upah minimum terhadap sektor informal, pekerja tidak terdidik, dan kelompok rentan lainnya?

Apakah kelompok ini lebih terdampak secara negatif, atau justru memperoleh manfaat lebih besar dari perlindungan kebijakan?

4.    Apakah terdapat perbedaan dalam jangka pendek dan jangka panjang mengenai bagaimana upah minimum memengaruhi struktur dan jumlah tenaga kerja?

Misalnya, apakah perusahaan cenderung melakukan adaptasi jangka panjang melalui teknologi, efisiensi, atau pengalihan model bisnis?

Permasalahan-permasalahan ini penting untuk dikaji secara objektif karena menyangkut keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial dalam pasar tenaga kerja.


Landasan Teori

Dalam kerangka ekonomi neoklasik, pasar tenaga kerja bekerja berdasarkan prinsip penawaran dan permintaan. Ketika harga (dalam hal ini, upah) ditetapkan di atas tingkat keseimbangan pasar, maka akan terjadi surplus tenaga kerja – yaitu pengangguran. Dengan kata lain, perusahaan akan menurunkan jumlah tenaga kerja yang diserap karena biaya menjadi terlalu tinggi, sementara lebih banyak individu ingin bekerja karena upah lebih menarik.

Namun, model ini terlalu menyederhanakan kenyataan di lapangan. Dalam kenyataannya, banyak pasar tenaga kerja tidak sepenuhnya kompetitif. Model monopsoni, misalnya, menggambarkan situasi di mana satu atau beberapa pemberi kerja memiliki kekuatan pasar dan dapat menentukan upah lebih rendah dari nilai marjinal tenaga kerja. Dalam konteks ini, kebijakan upah minimum justru dapat meningkatkan efisiensi dan kesejahteraan tanpa menyebabkan pengurangan lapangan kerja secara signifikan.

Selain itu, teori efisiensi upah (efficiency wage theory) menyatakan bahwa upah yang lebih tinggi dapat meningkatkan produktivitas pekerja, mengurangi turnover, dan meningkatkan loyalitas serta motivasi. Dalam kerangka ini, kenaikan upah minimum berpotensi meningkatkan output tenaga kerja per unit, yang dalam jangka panjang dapat mengimbangi biaya tambahan bagi perusahaan.

Pendekatan lain adalah segmented labor market theory, yang membagi pasar tenaga kerja menjadi sektor formal dan informal. Dalam pasar yang tersegmentasi, upah minimum hanya berlaku di sektor formal, sementara sektor informal tidak terikat pada regulasi tersebut. Ini menciptakan potensi pergeseran tenaga kerja dari sektor formal ke informal ketika upah minimum naik secara signifikan, karena perusahaan tidak mampu mempertahankan seluruh tenaga kerja dalam struktur biaya yang baru.

Beberapa model juga memperhitungkan elastisitas permintaan tenaga kerja terhadap upah, yaitu seberapa besar perubahan dalam jumlah tenaga kerja yang diminta akibat perubahan upah. Dalam sektor dengan elastisitas tinggi (misalnya manufaktur padat karya), kenaikan upah bisa menyebabkan penurunan besar dalam perekrutan. Sebaliknya, dalam sektor dengan elastisitas rendah (misalnya sektor jasa dengan keterampilan khusus), dampaknya relatif kecil.

Dengan demikian, dampak kebijakan upah minimum tidak dapat dinilai secara mutlak. Ia sangat tergantung pada struktur pasar, karakteristik perusahaan, dan profil demografis pekerja. Inilah yang menjadikan kajian tentang upah minimum sebagai topik yang relevan, rumit, dan memerlukan pendekatan multi-disipliner.


Pembahasan

1. Dampak Upah Minimum di Indonesia: Bukti Empiris dan Realita Lapangan

Indonesia merupakan negara dengan struktur ekonomi yang sangat beragam, dari sektor padat karya berbasis manufaktur hingga pertanian subsisten dan jasa informal. Karena itu, kebijakan upah minimum memiliki dampak yang sangat bervariasi antar wilayah dan sektor.

Beberapa studi domestik menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum secara nasional atau provinsi cenderung berdampak negatif terhadap permintaan tenaga kerja formal, terutama di sektor yang padat tenaga kerja dan berorientasi pada ekspor.

Susilowati dan Wahyuni (2018), misalnya, menemukan bahwa kenaikan upah minimum di sektor industri manufaktur menyebabkan penurunan penyerapan tenaga kerja di beberapa provinsi di Pulau Jawa. Perusahaan cenderung merespons dengan pengurangan jam kerja, otomatisasi, atau relokasi pabrik ke daerah dengan upah lebih rendah. Dalam jangka panjang, ini bisa mengarah pada stagnasi pertumbuhan lapangan kerja formal di sektor tersebut.

Namun demikian, tidak semua sektor merespons dengan cara yang sama. Studi Budiarty (2012) di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa industri pengolahan skala menengah mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja setelah kenaikan upah minimum. Hal ini dimungkinkan karena sektor tersebut memiliki permintaan yang kuat dan dapat mentransfer sebagian beban biaya ke harga jual tanpa kehilangan daya saing.

Secara umum, UMKM dan sektor informal lebih rentan terhadap dampak negatif kebijakan upah minimum. Karena mayoritas dari mereka beroperasi dengan margin laba yang tipis dan akses terbatas terhadap kredit, peningkatan upah minimum sering kali tidak dapat diikuti tanpa mengurangi jumlah pekerja atau beralih ke model kerja informal yang tidak tercatat secara resmi.

Di sisi lain, ada dampak makroekonomi yang kadang terlupakan: ketika upah minimum naik, pendapatan rumah tangga juga meningkat, yang bisa meningkatkan daya beli masyarakat. Dalam jangka menengah, konsumsi domestik yang lebih tinggi dapat menciptakan permintaan agregat baru dan membuka lapangan kerja tambahan – terutama di sektor jasa dan distribusi.

        2. Studi Kasus Internasional: Amerika Serikat, Jerman, dan Negara Berkembang

Studi dari negara maju dan berkembang memberikan perspektif penting tentang variabilitas dampak upah minimum.

Amerika Serikat

Studi legendaris oleh Card dan Krueger (1994) menemukan bahwa kenaikan upah minimum di negara bagian New Jersey tidak menyebabkan pengurangan tenaga kerja di industri restoran cepat saji – bahkan dibandingkan dengan negara bagian tetangga, Pennsylvania. Temuan ini menjadi titik balik dalam literatur ekonomi karena menantang asumsi klasik bahwa upah minimum selalu menyebabkan pengangguran.

Namun, hasil ini tidak seragam di seluruh negara bagian. Beberapa studi lanjutan menunjukkan bahwa sektor dengan elastisitas permintaan tenaga kerja yang tinggi, seperti manufaktur ringan dan jasa transportasi, mengalami pengurangan pekerjaan atau pergeseran ke kontrak kerja yang lebih fleksibel.

Jerman

Penerapan upah minimum nasional di Jerman pada 2015 menjadi studi kasus penting di Eropa. Sebelum kebijakan ini, Jerman tidak memiliki upah minimum nasional, dan pasar kerja sangat bergantung pada perjanjian industri dan serikat pekerja.

Bossler et al. (2024) menunjukkan bahwa setelah upah minimum diperkenalkan, terjadi penurunan signifikan dalam jumlah “minijobs” (pekerjaan paruh waktu berpenghasilan rendah), tetapi tidak berdampak besar pada jam kerja secara keseluruhan. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan mengatur ulang struktur kerja tanpa harus mengurangi jumlah pekerja secara drastis.

Namun, studi Moog (2024) mengungkap bahwa upah minimum mendorong migrasi internal dari wilayah dengan upah rendah ke wilayah yang menawarkan peluang kerja formal lebih banyak. Ini menunjukkan bahwa kebijakan upah minimum bisa memicu ketimpangan regional jika tidak disertai dengan strategi pembangunan yang merata.

Negara Berkembang

Di negara berkembang, struktur ekonomi cenderung dualistik – antara sektor modern dan sektor informal. Dalam konteks ini, kenaikan upah minimum sering kali menyebabkan “informalisasi” tenaga kerja, yaitu pergeseran dari pekerjaan formal ke informal.

Studi oleh World Bank di beberapa negara Asia dan Amerika Latin menunjukkan bahwa upah minimum yang terlalu tinggi dibandingkan produktivitas lokal dapat menciptakan hambatan masuk ke pasar kerja formal bagi pekerja muda dan tidak berpendidikan tinggi.

        3. Dampak Heterogen Berdasarkan Demografi dan Sektor

Satu hal yang sangat penting dalam pembahasan ini adalah bahwa dampak upah minimum sangat tergantung pada kelompok demografis.

  • Pekerja Muda: Kenaikan upah minimum dapat mempersulit mereka masuk ke pasar kerja, karena mereka belum memiliki pengalaman atau produktivitas yang cukup untuk “mengimbangi” biaya upah tersebut.
  • Pekerja Perempuan: Dalam beberapa konteks, perempuan lebih banyak bekerja di sektor-sektor berupah rendah. Sehingga upah minimum dapat meningkatkan pendapatan mereka, tapi juga bisa meningkatkan risiko diskriminasi atau seleksi ketat oleh perusahaan.
  • Pekerja Tidak Terdidik: Kelompok ini sering kali berada pada posisi paling rentan. Dalam banyak kasus, mereka justru tersingkir dari pasar kerja formal ketika upah minimum dinaikkan tanpa disertai peningkatan keterampilan atau pelatihan kerja.
  • Wilayah Tertinggal: Di daerah dengan produktivitas rendah, seperti sebagian wilayah timur Indonesia, upah minimum yang seragam secara nasional bisa tidak sesuai dengan kondisi lokal. Ini dapat memicu pengangguran struktural atau mendorong pengusaha keluar dari pasar.

Dampak terhadap Sektor Informal dan Kelompok Rentan

1. Pergeseran dari Formal ke Informal

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, struktur ekonomi tidak sepenuhnya terintegrasi secara formal. Berdasarkan data BPS, lebih dari 58% pekerja Indonesia pada 2023 berada di sektor informal — sebuah realitas ekonomi yang tidak bisa diabaikan dalam konteks kebijakan upah minimum.

Ketika upah minimum dinaikkan tanpa mempertimbangkan kapasitas produktivitas usaha mikro dan kecil, banyak pengusaha cenderung menghindari regulasi dan beralih ke model kerja informal. Hal ini mencakup:

  • Merekrut tenaga kerja tanpa kontrak resmi.
  • Tidak mendaftarkan pekerja ke sistem jaminan sosial.
  • Membayar upah di bawah standar minimum.

Fenomena ini telah diamati dalam studi oleh Maulidina (2018), yang menunjukkan bahwa di Jawa Timur, kenaikan upah minimum mendorong penurunan penyerapan tenaga kerja formal dan memperluas sektor informal, terutama di kalangan usaha mikro.

Dengan kata lain, bukannya meningkatkan kesejahteraan pekerja, kebijakan upah minimum yang tidak responsif terhadap realitas lokal bisa membalikkan tujuan awalnya, terutama jika tidak diikuti dengan pengawasan yang kuat dan insentif bagi pelaku usaha untuk tetap berada di sektor formal.

2. Pekerja Perempuan dan Pekerja Muda

Kelompok rentan lainnya adalah perempuan dan kaum muda, yang sering kali berada di segmen pekerjaan bergaji rendah, tidak tetap, atau paruh waktu.

  • Perempuan: Di sektor tekstil, garmen, dan alas kaki – salah satu penyerap tenaga kerja perempuan terbesar di Indonesia – kenaikan upah minimum kadang direspons perusahaan dengan pengurangan shift kerja, rasionalisasi tenaga kerja, atau relokasi pabrik ke negara lain dengan biaya tenaga kerja lebih rendah.
  • Pekerja muda: Banyak lulusan SMA atau SMK yang belum memiliki pengalaman kerja menghadapi kesulitan masuk ke pasar kerja formal ketika upah minimum meningkat. Perusahaan menjadi lebih selektif dan cenderung merekrut pekerja berpengalaman agar produktivitas sebanding dengan biaya.

Hasilnya adalah peningkatan pengangguran terbuka di kalangan muda, atau peningkatan proporsi mereka yang bekerja di sektor informal sebagai pekerja lepas, ojek online, atau pekerjaan fleksibel lainnya tanpa perlindungan sosial.

3. Ketimpangan Wilayah dan Daya Saing Lokal

Di negara sebesar Indonesia, perbedaan produktivitas antar wilayah sangat mencolok. Misalnya, upah minimum di DKI Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi seperti NTT atau Bengkulu, seiring dengan perbedaan biaya hidup.

Namun, ketika standar upah minimum diseragamkan secara nasional atau naik secara serempak di seluruh provinsi tanpa memperhatikan tingkat produktivitas lokal, maka wilayah-wilayah dengan daya saing rendah akan terdampak lebih keras. Usaha lokal tidak mampu membayar upah sesuai standar nasional dan akhirnya berhenti mempekerjakan secara formal.

Alih-alih mempersempit kesenjangan antarwilayah, kebijakan seperti ini berisiko memperlebar ketimpangan regional, dengan membuat daerah maju semakin menarik bagi tenaga kerja, dan daerah tertinggal kehilangan sumber daya manusianya karena migrasi ekonomi.

4. Aspek Psikologis dan Sosial

Selain dampak ekonomi langsung, ada pula dampak sosial dan psikologis yang harus diperhatikan. Kenaikan upah minimum yang tidak disertai peningkatan kesempatan kerja bisa menimbulkan:

  • Frustrasi di kalangan pencari kerja muda.
  • Penurunan motivasi dalam pelatihan keterampilan karena realitas lapangan kerja tetap sempit.
  • Ketegangan antara pengusaha dan pekerja, terutama jika pengusaha tidak mampu mengikuti regulasi.

Di sisi lain, bila upah minimum diterapkan secara tepat sasaran dan dengan pengawasan yang kuat, rasa keadilan dan martabat kerja dapat meningkat. Ini berdampak positif terhadap loyalitas, retensi tenaga kerja, dan produktivitas.

5. Peran Pemerintah dan Kebijakan Pendukung

Untuk mengurangi dampak negatif terhadap sektor informal dan kelompok rentan, kebijakan upah minimum sebaiknya tidak berdiri sendiri. Harus ada strategi pendukung seperti:

  • Subsidi upah untuk UMKM di sektor prioritas.
  • Peningkatan keterampilan dan pelatihan kerja untuk pekerja muda.
  • Skema insentif bagi perusahaan yang merekrut tenaga kerja baru atau mempertahankan pekerja dari kelompok rentan.
  • Diferensiasi upah minimum sektoral dan regional berbasis data produktivitas.

Hal ini sejalan dengan pendekatan adaptif dan kontekstual dalam kebijakan ketenagakerjaan, yang tidak memaksakan satu standar untuk semua wilayah atau sektor.


Kesimpulan

Kebijakan upah minimum merupakan alat intervensi pemerintah yang kompleks. Di satu sisi, kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, menjamin keadilan sosial, dan melindungi kelompok berpendapatan rendah. Di sisi lain, jika tidak dirancang dengan hati-hati dan disesuaikan dengan kondisi pasar tenaga kerja, kebijakan ini bisa menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti pengurangan permintaan tenaga kerja, pergeseran ke sektor informal, atau diskriminasi terhadap kelompok rentan.

Studi-studi di Indonesia menunjukkan bahwa dampak kenaikan upah minimum terhadap permintaan tenaga kerja bersifat heterogen. Sektor padat karya dan UMKM lebih rentan terhadap tekanan biaya, sedangkan sektor formal yang lebih produktif cenderung lebih adaptif. Selain itu, kelompok seperti pekerja muda, perempuan, dan mereka yang berpendidikan rendah sering kali mengalami kesulitan yang lebih besar dalam memasuki atau bertahan di pasar kerja formal.

Pengalaman dari negara lain seperti Amerika Serikat dan Jerman juga menunjukkan bahwa dampak upah minimum sangat tergantung pada struktur pasar tenaga kerja, kekuatan institusi, dan desain kebijakan. Tidak ada satu pendekatan tunggal yang cocok untuk semua negara atau wilayah.

Dengan demikian, pemahaman yang mendalam terhadap konteks lokal, elastisitas tenaga kerja, dan kapasitas produktivitas sangat penting dalam merancang kebijakan upah minimum yang tidak hanya adil secara sosial tetapi juga efisien secara ekonomi.

Saran

Desain Upah Minimum yang Fleksibel dan Kontekstual

Pemerintah sebaiknya menghindari pendekatan seragam secara nasional dan mulai mempertimbangkan penetapan upah minimum berdasarkan wilayah, sektor industri, dan tingkat produktivitas. Ini akan mencegah beban yang tidak proporsional pada usaha kecil dan menengah di daerah dengan daya saing rendah.
  1. Perkuat Data dan Pengawasan.Penetapan upah minimum harus berbasis data aktual, termasuk produktivitas tenaga kerja, biaya hidup, dan elastisitas permintaan tenaga kerja di sektor-sektor utama. Pemerintah juga harus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum agar regulasi tidak menjadi simbolis.
  2. Integrasikan Pelatihan dan Skema Insentif.Untuk mengurangi dampak negatif terhadap pekerja muda dan kelompok rentan, kebijakan upah minimum perlu disertai program pelatihan kerja, sertifikasi keterampilan, dan insentif bagi perusahaan yang merekrut tenaga kerja dari kelompok ini.
  3. Pendekatan Kolaboratif antara Pemerintah, Pengusaha, dan Serikat Buruh.Proses penetapan dan revisi upah minimum harus melibatkan dialog sosial yang aktif. Keterlibatan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha akan menciptakan kebijakan yang lebih diterima dan berkelanjutan. 
  4. Lakukan Evaluasi Berkala.Dampak kebijakan upah minimum harus dievaluasi secara berkala, baik secara makro maupun mikro, untuk melihat efek jangka pendek dan panjang. Hasil evaluasi ini perlu digunakan untuk perbaikan kebijakan secara dinamis.

 

Daftar Pustaka

  1. Susilowati, L., & Wahyuni, D. (2018). Pengaruh Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Bidang Industri di Indonesia. Equilibrium: Jurnal Ekonomi-Manajemen-Akuntansi, 16(1), 1–15.
  2. Gunawan, B. T., & Kurniawati, A. (2017). Pengaruh Upah Minimum terhadap Transisi Individu dalam Pasar Kerja. Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen, 17(1), 55–68.
  3. Budiarty, I. (2012). Dampak Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja Industri Pengolahan Provinsi Lampung. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 13(1), 1–12.
  4. Bossler, M., Liang, Y., & Schank, T. (2024). The Devil is in the Details: Heterogeneous Effects of the German Minimum Wage on Working Hours and Minijobs. arXiv preprint arXiv:2403.17206.
  5. Moog, A. (2024). Internal Migration after a Uniform Minimum Wage Introduction. arXiv preprint arXiv:2404.19590.
  6. Card, D., & Krueger, A. B. (1994). Minimum Wages and Employment: A Case Study of the Fast-Food Industry in New Jersey and Pennsylvania. American Economic Review, 84(4), 772–793.
  7. Maulidina, D. (2018). Dampak Kenaikan Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Jawa Timur. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 9(2), 123–136.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.