A. Latar Belakang
Setelah
kemerdekaan hingga tahun 1965, perekonomian Indonesia memasuki era yang sangat
sulit, karena bangsa Indonesia menghadapi gejolak sosial, politik dan keamanan
yang sangat dahsyat, sehingga pertumbuhan ekonomi kurang diperhatikan. Masih
terdapat ketimpangan ekonomi, tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tinggi,
serta pendapatan per kapita yang masih sangat rendah.
Krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya merupakan akibat dari semakin cepatnya
proses integrasi perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global, dimana
pada saat yang sama perangkat kelembagaan bagi bekerjanya ekonomi pasar yang
efisien belum tertata dengan baik. Untuk dapat memperbaiki sistem perekonomian
di Indonesia, kita perlu mempelajari sejarah tentang perekonomian Indonesia
dari masa penjajahan hingga masa reformasi.
Dengan
mempelajari sejarahnya, kita dapat mengetahui kebijakan-kebijakan ekonomi
apa saja yang sudah diambil pemerintah dan bagaimana dampaknya terhadap
perekonomian Indonesia serta dapat memberikan kontribusi untuk mengatasi
permasalah ekonomi yang ada atau yang sedang berlangsung.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
penyebab kurs rupiah melemah?
2. Bagaimana pemerintah berkontribusi
untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang ada?
C. Pembahasan
1. Penyebab
kurs rupiah melemah
Pengamat
ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J
Rachbini mengungkapkan, ada beberapa faktor yang
memengaruhi rupiah pekan
ini semakin melemah hingga tembus Rp14.750/USD.
"Pertama, perkembangan ekspor kita sebagai mesin pencetak devisa tidak dapat dipertahankan minimal pada posisi tetap bertahan. Kondisinya sedang terus menurun sehingga pelaku pasar masih belum percaya bahwa ekspor bisa dipulihkan," katam dia dalam pesan singkatnya di Jakarta, Selasa (29/9/2015).
Saat ini, ekspor produk komoditi sawit, karet, batubara yang turun drastis masih belum ada gantinya dan belum ada solusi dari program darurat yang mengarah ke sana.
"Kedua, karena kepercayaan kurang, sekarang rumah tangga sudah mulai menggeser portofolionya ke mata uang dolar. Daripada rupiah jeblok lebih baik tidak dapat suku bunga tinggi tapi aman pegang valuta dolar. Ini menambah masalah yang tidak seharusnya terjadi. Ini faktor psikologis sebenarnya," imbuh dia.
Ketiga, paket kebijakan sudah sangat terlambat karena krisis nilai tukar sudah terjadi sejak dua tahun terakhir, tepatnya masa akhir pemerintahan Presiden SBY di mana rupiah melemah dari Rp9.000/USD ke Rp12.000/USD.
"Mestinya pemerintah langsung tancap gas membereskan faktor-faktor krisis tersebut, tapi lebih baik jalan meski terlambat. Paket pertama masih dosis sangat ringan dan cair. Misal dana desa harus jalan itu sudah semestinya jalan di APBN, monitoring implementasi proyek-proyek di APB juga sama, program biofuel belum jalan bagus, dan masih banyak lagi," jelas Didik.
Keempat, lanjut dia, Bank Indonesia (BI) yang saat itu lemah, BI sekarang paling tidak berdaya dan tidak memiliki inisiatif kuat untuk menyelesaikan masalah ini. DPR sudah mengkritik dalam krisis seperti sekarang, namun BI malah mengambil untung dalam keadaan krisis.
Kelima, faktor kepemimpinan juga lemah dan terlalu banyak bos di negeri ini sehingga komando kebijakan tidak turun secara efektif. "Di kalangan internal pemerintah masih berkelahi satu sama lain," ucapnya
Keenam, pasar melihat bahwa modal sosial tim pemerintah rendah seperti ditunjukkan dalam perkelahian internal satu sama lain. Satu tim kolektif saling tidak percaya, tidak akan menghasilkan kebijakan efektif.
"Jadi, kesimpulannya, krisis nilai tukar ini sudah terpuruk karena gabungan pengaruh faktor ekonomi (internal dan eksternal) dan juga faktor-faktor non ekonomi, politik, sosial dan psikologis. Kedua ini semakin besar sehingga pemerintah kebobolaan," terangnya.
"Filipina, India dan Vietnam tidak terkena pengaruh eksternal yang dalam. Nilai tukarnya tetap kuat dengan sedikit saja depresiasi. India karena ekspornya kuat dan Filipina karena remittance jasa tenaga kerjanya besar dan tim ekonominya bekerja bagus," tutup Didik.
"Pertama, perkembangan ekspor kita sebagai mesin pencetak devisa tidak dapat dipertahankan minimal pada posisi tetap bertahan. Kondisinya sedang terus menurun sehingga pelaku pasar masih belum percaya bahwa ekspor bisa dipulihkan," katam dia dalam pesan singkatnya di Jakarta, Selasa (29/9/2015).
Saat ini, ekspor produk komoditi sawit, karet, batubara yang turun drastis masih belum ada gantinya dan belum ada solusi dari program darurat yang mengarah ke sana.
"Kedua, karena kepercayaan kurang, sekarang rumah tangga sudah mulai menggeser portofolionya ke mata uang dolar. Daripada rupiah jeblok lebih baik tidak dapat suku bunga tinggi tapi aman pegang valuta dolar. Ini menambah masalah yang tidak seharusnya terjadi. Ini faktor psikologis sebenarnya," imbuh dia.
Ketiga, paket kebijakan sudah sangat terlambat karena krisis nilai tukar sudah terjadi sejak dua tahun terakhir, tepatnya masa akhir pemerintahan Presiden SBY di mana rupiah melemah dari Rp9.000/USD ke Rp12.000/USD.
"Mestinya pemerintah langsung tancap gas membereskan faktor-faktor krisis tersebut, tapi lebih baik jalan meski terlambat. Paket pertama masih dosis sangat ringan dan cair. Misal dana desa harus jalan itu sudah semestinya jalan di APBN, monitoring implementasi proyek-proyek di APB juga sama, program biofuel belum jalan bagus, dan masih banyak lagi," jelas Didik.
Keempat, lanjut dia, Bank Indonesia (BI) yang saat itu lemah, BI sekarang paling tidak berdaya dan tidak memiliki inisiatif kuat untuk menyelesaikan masalah ini. DPR sudah mengkritik dalam krisis seperti sekarang, namun BI malah mengambil untung dalam keadaan krisis.
Kelima, faktor kepemimpinan juga lemah dan terlalu banyak bos di negeri ini sehingga komando kebijakan tidak turun secara efektif. "Di kalangan internal pemerintah masih berkelahi satu sama lain," ucapnya
Keenam, pasar melihat bahwa modal sosial tim pemerintah rendah seperti ditunjukkan dalam perkelahian internal satu sama lain. Satu tim kolektif saling tidak percaya, tidak akan menghasilkan kebijakan efektif.
"Jadi, kesimpulannya, krisis nilai tukar ini sudah terpuruk karena gabungan pengaruh faktor ekonomi (internal dan eksternal) dan juga faktor-faktor non ekonomi, politik, sosial dan psikologis. Kedua ini semakin besar sehingga pemerintah kebobolaan," terangnya.
"Filipina, India dan Vietnam tidak terkena pengaruh eksternal yang dalam. Nilai tukarnya tetap kuat dengan sedikit saja depresiasi. India karena ekspornya kuat dan Filipina karena remittance jasa tenaga kerjanya besar dan tim ekonominya bekerja bagus," tutup Didik.
2. Kontribusi pemerintah dalam Permasalahan Ekonomi yang Ada
Pemerintah mempunyai peranan penting dalam menghadapi masalah
ekonomi di Negara kita ini.Krisis moneter yang dialami bangsa Indonesia
memberikan dampak yang amat besar. Kemiskinan, pengangguran memuncak. Ditambah
dengan bertambahnya koruptor yang ada di Indonesia mengakibatkan dana APBN
maupun APBD yang ada tidak tersalurkan dengan tepat sehingga mengakibatkan
hutang negara semakin besar. Serta turunnya nilai rupiah terhadap mata uang
asing, turunnya harga migas semakin memperberat kondisi ekonomi negara dan
mengakibatkan defisit terhadap devisa negara.
Hal ini mengakibatkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah di kalangan
masyarakat terutama bagi mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah. Bahkan
mereka menganggap pemerintah dengan sebelah mata. Pemerintah mulai
dipertanyakan kinerjanya ditambah pula dengan terbongkarnya kasus korupsi di
Indonesia. Maka dari itu peran pemerintah untuk mengatasi kondisi perekonomian
yang semakin krisis ini harus semakin ditingkatkan. Berikut adalah
beberapa peran pemerintah untuk mengatasi perekonomian:
1) Pemerintah
mempunyai peranan untuk mengatur, memperbaiki atau mengarahkan aktivitas
ekonomi dari pemerintah maupun sektor swasta. Seperti yang tercantum dalam UUD
Pasal 33 Ayat 1,2 dan 3. Oleh karena itu perkembangan dan kemajuan pembangunan
suatu Negara tergantung kepada peranan pemerintah dalam mengatur negaranya
termasuk di dalamnya adalah perekonomian.
2) Dalam
perekonomian modern, peranan pemerintah dapat diklasifikasikan dalam fungsi
alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilitas dapat dijabarkan sebagai
berikut:
- Pada fungsi alokasi pemerintah harus menetukan barang-barang publik yang diperlukan warganya, seberapa besar harus disediakan oleh pemerintah, dan seberapa besar yang dapat disediakan oleh rumah tangga perusahaan.
- Pada fungsi distribusi pemerintah berupaya untuk mendistribusikan pendapatan atau kekayaan agar masyarakat sejahtera.
- Pada fungsi stabilitas pemerintah dengan kebijakan fiskal perlu mempertahankan atau mencapai tujuan seperti kesempatan kerja yang tinggi, stabilitas tingkat harga, rekening luar negeri serta tingkat pertumbuhan yang memadai.
- Pada fungsi alokasi pemerintah harus menetukan barang-barang publik yang diperlukan warganya, seberapa besar harus disediakan oleh pemerintah, dan seberapa besar yang dapat disediakan oleh rumah tangga perusahaan.
- Pada fungsi distribusi pemerintah berupaya untuk mendistribusikan pendapatan atau kekayaan agar masyarakat sejahtera.
- Pada fungsi stabilitas pemerintah dengan kebijakan fiskal perlu mempertahankan atau mencapai tujuan seperti kesempatan kerja yang tinggi, stabilitas tingkat harga, rekening luar negeri serta tingkat pertumbuhan yang memadai.
Masyarakat berharap semoga pemerintah dapat melaksanakan peranannya
dengan sebaik mungkin. Agar supaya masyarakat dapat kembali menaruh kepercayaan
kepada para wakil rakyat untuk mengatur segala sumber daya yang ada. Sehingga
mereka tidak dipandang dengan sebelah mata.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Jadi, krisis nilai tukar ini sudah terpuruk karena
gabungan pengaruh faktor ekonomi (internal dan eksternal) dan juga
faktor-faktor non ekonomi, politik, sosial dan psikologis. Kedua ini semakin
besar sehingga pemerintah kebobolaan.
Pemerintah mempunyai peranan penting dalam menghadapi masalah
ekonomi di Negara kita ini.Krisis moneter yang dialami bangsa Indonesia
memberikan dampak yang amat besar. Kemiskinan, pengangguran memuncak. Ditambah
dengan bertambahnya koruptor yang ada di Indonesia mengakibatkan dana APBN
maupun APBD yang ada tidak tersalurkan dengan tepat sehingga mengakibatkan
hutang negara semakin besar. Serta turunnya nilai rupiah terhadap mata uang
asing, turunnya harga migas semakin memperberat kondisi ekonomi negara dan
mengakibatkan defisit terhadap devisa negara.
2. Saran
pemerintah seharusnya
meningkatkan belanja infrastruktur untuk menggerakkan mesin perekonomian. Di
sisi lain tetap menjaga kesehatan fiskal dengan menahan defisit anggaran tak
melebihi 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
pentingnya menjaga
inflasi meskipun saat ini masih di bawah 5 persen. Pemerintah harus terus
menurunkan tekanan inflasi sehingga konsumen makin percaya dengan pemerintah.
Sumber Referensi:
www.merdeka.com (8 juli 2015)
www.prezi.com (23 november 2014)
www.ekbis.sindonews.com (22 september 2015)
www.republika.co.id (13 febuari 2016)
www.rri.co.id
(21 agustus 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.