Oleh: Siti Sarah Rizkiya
Abstrak:
Era 
globalisasi  merupakan  era 
yang  ditandai dengan  semakin 
menyatunya  negara-negara  di dunia 
dalam  bidang  budaya, 
ekonomi,  sumber daya,  dan 
teknologi  informasi.  Era 
globalisasi ekonomi  menciptakan  kesepakatan 
kerjasama perdagangan 
internasional  maupun  regional. Perkembangan  era  globalisasi  ini 
menciptakan pasar  yang  lebih 
terintegrasi  dan  perdagangan internasional  yang 
memberikan  dampak  kepada masing-masing negara yang ikut serta
di dalamnya.
Setiap 
negara  yang  melakukan 
kerjasama internasional  pasti  mengharapkan  hasil 
yang  lebih menguntungkan  dibandingkan 
jika  hidup  sendiri. Berdasarkan  sudut 
pandang  ilmu  ekonomi, hubungan  antarnegara 
merupakan  proses  alokasi sumber  daya 
ekonomi  antarnegara  dalam 
rangka meningkatkan  derajat  hidup 
bersama.  Semakin banyak  negara 
melakukan  hubungan  ekonomi dengan  negara 
lain  semakin  besar 
juga kemungkinan  negara  tersebut 
memperoleh kesejahteraan. 
Secara  sederhana  dapat 
dikatakan bahwa semakin besar perdagangan dunia diperoleh suatu  negara 
semakin  besar  juga 
kesejahteraan yang akan dinikmatinya.
Pendahuluan:
Setiap 
negara  yang  melakukan 
kerjasama internasional  pasti  mengharapkan 
hasil  yang  lebih menguntungkan  dibandingkan 
jika  hidup  sendiri. Berdasarkan  sudut 
pandang  ilmu  ekonomi, hubungan  antarnegara 
merupakan  proses  alokasi sumber  daya 
ekonomi  antarnegara  dalam 
rangka meningkatkan  derajat  hidup 
bersama.  Semakin banyak  negara 
melakukan  hubungan  ekonomi dengan  negara 
lain  semakin  besar 
juga kemungkinan  negara  tersebut 
memperoleh kesejahteraan. 
Secara  sederhana  dapat 
dikatakan bahwa semakin besar perdagangan dunia diperoleh suatu  negara 
semakin  besar  juga 
kesejahteraan yang akan dinikmatinya.
Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada
sub-sektor perkebunan, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang
pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an
sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang
sangat pesat.  Pada periode tersebut,
areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan
areal, produksi juga meningkat dengan laju 
9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan
laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan 2004). Laju yang demikian pesat menandai era di mana kelapa sawit
merupakan salah primadona pada sub-sektor perkebunan.
Menurut data dari Kementerian Pertanian Indonesia,
jumlah total luas area perkebunan sawit di Indonesia pada saat ini mencapai
sekitar 8 juta hektar; dua kali lipat dari luas area di tahun 2000 ketika
sekitar 4 juta hektar lahan di Indonesia dipergunakan untuk perkebunan kelapa
sawit. Jumlah ini diduga akan bertambah menjadi 13 juta hektar pada tahun 2020.
Perkebunan milik pemerintah memiliki peran yang
menengah dalam industri minyak sawit sementara perusahaan-perusahaan besar
(seperti Wilmar Group dan Sinar Mas) memproduksi sekitar setengah dari total
produksi minyak kelapa sawit Indonesia. Para petani skala kecil memproduksi
sekitar 35% dan kebanyakan petani kecil ini sangat rentan keadaannya apabila
terjadi penurunan harga minyak kelapa sawit dunia.
Permasalahan:
1.      Dinamika
Pasar Minyak Nabati di Pasar Internasional
2.      Prospek
CPO di Pasar Internasional Cukup Terbuka
3.      Peluang
Pengembangan CPO Indonesia
4.      Kendala
dan Kebijakan 
Pembahasan:
1.      Dinamika
Pasar Minyak Nabati di Pasar Internasional
Pasar minyak nabati di
pasar internasional merupakan salah satu pasar yang kompetitif, melibatkan
lebih dari sembilan jenis minyak serta hampir diproduksidan dikonsumsi di semua
negara, baik negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Minyak nabati
yang banyak diperdagangkan di pasar internasional antara lain minyak kedele,
minyak sawit, rapeseed oil, sunflower oil, minyak kelapa, minyak jagung, dan
minyak kacang tanah.     
Pada lima tahun
terakhir, daya saing CPO di pasar internasional masih lebih baik dari daya
saing minyak nabati lainnya (Basiron 2002). 
Hal ini tercermin dari pertumbuhan pasar CPO yang secara umum paling
tinggi. Konsumsi CPO dunia pada lima tahun terakhir tumbuh dengan laju 7.70%
per tahun, jauh diatas rata-rata konsumsi minyak dunia yang hanya 3.44% per
tahun.  Pada periode tersebut, hanya
minyak kedele yang masih tumbuh dengan laju 4.49% per tahun.  Konsumsi rapeseed oil dan sunflower oil di
pasar dunia justru mengalami penurunan. 
Sebagai akibatnya, pangsa konsumsi CPO di dunia meningkat 4.12% per
tahun pada periode tersebut menjadi 27.77%, dengan tingkat konsumsi
mencapai  27.77 juta ton pada tahun
2004.   
2.      Prospek
CPO di Pasar Internasional Cukup Terbuka
Dengan kinerja dan daya
saing yang cukup baik, prospek CPO di pasar internasional, baik dilihat dari
sisi peluang peningkatan konsumsi maupun ekspor diperkirakan masih cukup
baik.  Hasil analisis yang dilakukan FAO
(2001), Mielke (2001), dan Susila (2002) menunjukkan peluang peningkatan
konsumsi CPO masih terbuka.  Dari studi
tersebut, peluang peningkatan konsumsi CPO untuk jangka panjang sampai dengan
2005 diperkirakan akan mengalami 3 fase pertumbuhan.  Pada fase pertumbuhan pertama atau fase
pertumbuhan cepat (2005-2010), konsumsi CPO diperkirakan masih  cukup tinggi, walaupun lebih rendah dari
pertumbuhan pada dekade terakhir.  Fase
kedua (2010-1017) dikenal sebagai fase pertumbuhan yang lambat, namun masih
lebih tinggi dari pertumbuhan produk kompetitiornya yaitu pertumbuhan konsumsi
minyak kedele. Fase ketiga (2017-2025) dikenal sebagai pertumbuhan yang alami
(natural) yaitu pada saat pasar mulai jenuh dan pertumbuhan konsumsi hanya
sekitar 1.5% per tahun.
Ada beberapa faktor
yang melandasi pemikiran bahwa prospek CPO cukup cerah dalam persaingan dengan
minyak nabati lainnya.  Faktor pertama
yang mendukung daya saing minyak sawit yang tinggi adalah tingkat efisiensi
yang tinggi dari minyak tersebut. 
Pasquali (1993) dan Basiron (2002) menyebutkan bahwa CPO merupakan
sumber minyak nabati termurah. Rendahnya harga CPO relatif terhadap minyak lain
berkaitan dengan tingginya tingkat efisiensi produksi CPO (Simeh 2004; Susila
1998).  Ong (1992) menyebutkan bahwa
produktivitas lahan untuk pengusahaan CPO, minyak kedele, rapeseed, dan kopra
adalah masing-masing 3.200, 332, 521, dan 395 kg/ha setara minyak.   Faktor lain adalah bahwa sekitar 80% dari
penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan
konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak, terutama untuk minyak yang harganya
murah (FAO, 2001).   Di samping faktor
penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi dan efek
pendapatan (Pasquali, 1993). Efek substitusi berpangkal dari daya saing CPO
yang tinggi sehingga penduduk di negara berkembang cenderung mensubstitusi
minyak yang dikonsumsi dengan minyak yang lebih murah.  Efek pendapatan cukup signifikan karena
pertumbuhan ekonomi yang pesat justru terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang yang tingkat konsumsi minyak dan lemak yang relatif masih rendah
yaitu 10.3 kg per kapita (FAO, 2001).  
Faktor berikutnya yang juga akan memperbesar peluang minyak sawit adalah
terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke
bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokimia yang bahan
bakunya adalah CPO (The World Bank, 1992 dan Pasquali, 1993).  Kecenderungan tersebut sudah tampak di
beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang.
3.      Peluang
Pengembangan CPO Indonesia
Pada saat krisis dan
pemulihan ekonomi (1998-2003), kelapa sawit masih menunjukkan perkembangan yang
pesat. Pada periode tersebut, pertumbuhan areal mencapai 12.04% per tahun
dengan luas aral tahun 2003 mencapai 4.923 juta ha.  Produksi juga tumbuh pesat pada periode
tersebut dengan laju 13.6% per tahun dengan tingkat produksi mencapai 10.683
jua ton pada tahun 2003.  Volume ekspor
juga meningkat dengan laju 16.37% per tahaun, sedangkan nilai ekspor minyak
sawit meninkat dengan laju 7.67% per tahun. 
Konsumsi domstik juga tidak ketinggalan dengan laju peningkatan sekitar
7.33% per tahun pada periode tersebut. Tingkat konsumsi sampai dengan tahun
2025 diperkirakan akan berkisar antara 
41.45 – 44.45 juta ton.  Di sisi
lain, produksi CPO dunia pada tahun 2004 adalah 25.67 juta ton.  Dengan demikian, peluang peningkatan produksi
sampai dengan tahun 2025 berkisar antara 15.78 – 18.78 juta ton.
4.      Kendala
dan Kebijakan  
Dengan peluang
investasi yang masih terbuka, Indonesia sebenarnya mempunyai potensi untuk
memanfaatkan peluang tersebut. Seberapa besar peluang tersebut dapat
dimanfatkan akan sangat bergantung pada iklim investasi/bisnis di Indonesia. Dua
hambatan utama adalah instabilitas kondisi ekonomi makro dan ketidak-pastian
kebijakan ekonomi.  Faktor berikutnya
yang juga dinilai sebagai hambatan utama adalah korupsi, baik pada tingkat
local maupun nasional. Selanjutnya, masalah perpajakan dan biaya modal juga
menjadi factor penghambat investasi di Indonesia.  Secara lebih spesifik pada bidang investasi
kelapa sawit, beberapa hambatan utama untuk melakukan investasi adalah sebagai
berikut:
            ·       Keterbatasan
Sumber Pendanaan
            ·       Ekses
Otonomi Daerah
            ·       Isu
Lingkungan
            ·       Konflik
Lahan dan Penjarahan.
Kesimpulan:
Setalah mengalami masa
keemasan sampai dengan pertengahan tahun 1990- an, bisnis kelapa sawit
mengalami penurunan kinerja, khususnya dari aspek investasi.  Berbagai faktor internal dan eksternal telah
menimbulkan persepsi bahwa peluang investasi di bisnis tersebut mulai
menurun.  Padahal, peluang investasi
sebenarnya masih cukup terbuka dalam waktu yang relatif panjang (2025). Indonesia
diperkirakan  memperoleh peluang terbesar
dengan memanfaatkan sekitar 40% atau sekitar 6.31 – 7.51 juta atau setara
dengan peluang perluasan antara 1.80 – 2.15 juta ha.  Jika perluasan dilakukan antara tahun
2005-2025, maka setiap tahun Indonesia harus melakukan perluasan sekitar 120
–140 ribu ha.
Daftar
pustaka:
Sari, Yola Velinda;
Suhadak. 2017. Pengaruh ASEAN-CHINA Free
Trade Agreement (ACFTA) Terhadap Ekspor Komoditi Kelapa Sawit Dan Karet Alam
Iindonesia Ke China. Vol. 44  No.1. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiOzK3Aw4PUAhUFtI8KHfd1CTkQFggnMAE&url=http%3A%2F%2Fadministrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id%2Findex.php%2Fjab%2Farticle%2Fdownload%2F1726%2F2106&usg=AFQjCNEas2haImqXKRToG4CFMaCRwKQ0Jg&sig2=mGOzIOvcKRLfIidIYxJ3Qw
(diakses tgl 22 Mei 2017)
Susila, Waya R. 2017. Peluang Pengembangan Kelapa Sawit Di Indonesia:
Perspektif Jangka Panjang 2025. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiOzK3Aw4PUAhUFtI8KHfd1CTkQFgg0MAM&url=http%3A%2F%2Fojs.unud.ac.id%2Findex.php%2Fsoca%2Farticle%2Fdownload%2F4161%2F3146&usg=AFQjCNEpfJdAcgV4yr3LLAl2KrUJqjlxGg&sig2=Uq1iPRyCat9O5F4vWaHhZA
(diakses tgl 22 Mei 2017)
Anonim. 2016. Minyak Kelapa
Sawit. https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/minyak-sawit/item166?
(diakses tgl 22 Mei 2017)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.